06 September 2009


test....

20 August 2008

Klepto Sirosis

Anda pernah dengar sirosis, atau masih kurang yakin dengan informasi yang dimiliki tentangnya,
silakan googling saja dengan kata kunci=sirosis.

Awalnya memang dari dunia medis, bahwa penyakit sirosis ini menahun dan mengenai hati.

Bahkan di dunia medis Indonesia pun, telah disusun sebuah organisasi, PPHI, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, mengingat betapa besar ancaman penyakit terhadap organ satu ini.
Menariknya lagi, bahwa organ hati membawa peran yang sama pentingnya dengan organ tubuh lainnya.

Nah, hal ini bukan asal disambung-sambung atau otak-atik-gathuk, tetapi jika direnungkan dan dianalisa, rasanya penyakit klepto varian ini pun memiliki gejala yang sama, bahkan memiliki akibat yang mirip setelah mengidapnya.

Coba amati uraian secara etimologis, yang dicuplik dari www.panikon.com/phurba/alteng/k.html
------------------------------------------------------------------
Klepto - "Kleptomaniac." See "kleptomaniac."
Kleptocracy - "a Government Characterised by Greed and Corruption." From the Greek roots

"kleptein" = "to steal" and "krateo" = "to rule, hold sway"
Kleptolagnia - "Sexual Excitement from Theft." From the Greek roots "kleptein" = "to steal" and

"lagneia" = "coition, intercourse"
Kleptomania - "Pathologically Inclined to Steal." This is pseudo-Greek, from the words "klepto,"

meaning "to steal," and "mania," meaning "madness; enthusiasm or inspired frenzy." See "mania."
Kleptophobia - "An Irrational Fear of Stealing, Theives or Loss by Theft." Also spelled

"cleptophobia." From the Greek root "klepto" = "to steal" and the suffix "-phobia."
------------------------------------------------------------------
Lalu, bagaimana memahami rangkaian kleptosirosis, yang secara etimologis belum diakui tapi sudah jamak terjadi di negeri ini.

Jika membayangkan perilaku seorang pegawai baru, yang ingin menerima gaji sesuai keringat yang ia cucurkan.
Selalu diingat-ingat, bagaimana komitmennya ditanyakan, dikonfirmasikan dan didiskusikan beberapa kali saat melamar pekerjaan yang diidamkan.
Saat diterima, selalu diingatkan, aturan-aturan main, tuntutan dan tuntunan profesionalisme atau loyalitas agar selalu meletakkan kepentingan kelembagaan yang menerima dirinya.
Beberapa hari berjalan, setelah masa adaptasi mulai memudar, dan rekan sekerja perlahan mulai dapat berakrab ria, mulailah suasana bertanya-tanya, kenapa begitu serta mengapa begini.
Mulai ketidaksesuaian apa yang dijanjikan, apa yang dimintakan, apa yang terpenuhkan.

Nah, apalagi saat bertemu dengan penyimpangan yang menguntungkan kantong pribadi, semakin bingung. Teriming-iming ? mungkin tidak, tapi tak menampik sebaliknya.
Jika tertarik dengan iming-iming itu, tentu mulai dari yang terkecil, hingga mahir, lalu meningkat sampai jumlah yang sangat menggiurkan. Sebesar apa, tentu bergantung pada kemampuannya. Kalau perlu, kemahiran, ketrampilan, talenta hingga intelegensia dipaksa terasah simultan.
Terasa itu salah, jawabannya lagi-lagi bisa ya, bisa tidak.
Malah saking terasahnya, dapat menemukan argumentasi logis, mengapa terjadi atau kenapa dimungkinkan dengan nalar hukum atau aturan-aturan tertulis lainnya.
Bahkan, bisa saja secara akademis terhormat, mengutip data-data sahih statistik untuk dipamerkan, bahwa argumentasinya semata-mata benar tanpa cacat.
Akhirnya terkikislah rasa bersalah karena melakukan hal yang melawan tatakrama umum dan tatanan lainnya.
Coba saja ikuti, betapa rumit perundingan RI-Singapura tentang ekstradisi koruptor yang telah berlangsung nyaris 5 tahun. Bahkan hingga G2G, masih juga mengalami kendala.

Unsur waktu dari seorang pengutil kelas teri sampai bisa maksimum sangat relatif, bergantung beberapa hal, antara lain, besarnya kesempatan, besarnya komunitas, besar daya tawar bahkan besarnya sistem yang mampu direkrut, hingga alasan klasik seperti tidak ada kesempatan berkarir lebih baik atau malas.
Dan dengan cepat pula menular pada personal lain, karena faktor iming-iming.
Boleh saja dianggap akibat sistem kooptasi.

Sekali lagi harus dicerna, terasakah itu salah ? Jika tidak, maka tanda-tanda seperti sirosis sudah bisa dikenali.
Maka lengkap sudah, tengara stadium awal kleptosirosis sudah diidap.
Terhormatlah bangsa ini, penemuan besar abad ini, yang justru tumbuh-kembangnya di negeri tropis, ditemukan jenis penyakit yang dapat digolongkan penyakit multi-analisis-disiplin, baik medis, finansial, sistem sosial hingga psikologis klinis; KLEPTOSIROSIS.
Semoga sebentar lagi sudah dapat dinyatakan siapa penemu sejatinya. Kalau sampai akhir abad ini belum diketemukan, maka sah-sah saja saya menyatakan diri sebagai penemunya.

Obat Watheg Nomer Wahid

Wah, pancet ae ! dasar bapak-anak model'e podho ae ! Ngene iki jenenge buah jatuh tak jauh dari pohonnya !!

Nek buah jatuh jauh dari pohonnya iku jenenge kepetil(=terpukul palu) eh ketepil(=terkena batu katapel), hahahaha.. sampean iki aneh-aneh ae caaak...

Enggak lah, Tji. Iki loh, mbaca koran, berita tentang anak yang meneruskan kebiasaan bapaknya yang senengane masang togel. Dasar kelakuan turunan kan ?
hobi bapak pasti nurun ke anaknya, betul kan ? opo maneh watheg(=watak)
perasaan kamu sudah baca tadi.

Ndrong, sampean kog yo ono-ono ae..
Jangan gitulah, manusia, walau dia secara status sama saja dengan ciptaan Sing Nggawe Nyowo lainnya, tetap saja beda, hanya manusia yang punya pangkat khalifah, lainnya blaaasss...mangkane talah, mbukak cuman koran, mbok mbukak buku

Lhah lak mesthi awakmu iki, diajak bincang-bincang-enteng(BBE), selalu beloknya mbek urusan ketuhanan. Ahhh....

Haiyahh..!!! marmotji iki gak isok urip enteng, mangkane awak'e yo gak iso enteng..hahahahhaha...

Duh, jok ngono talah, sing aku ngomong tadi juga enteng.

Husss...!!! Sing Nyetak Bumi-Bulan dibilang enteng, kualat !!!

Endak. Yang aku maksud bukan itu, tapi ngobrolnya yang enteng, karena Gusti Allah selalu sesuai dengan prasangka manusia, koyok lagune Bimbo. aku jauh, Engkau jauh, aku dekat, Engkau dekat. Karena DIA selalu lebih dekat dengan kita, bahkan dibanding urat-nadi kita.
Jadi walau ngomongnya enteng, tapi nek niat'e tetep nggo eling-eling Gusti Allah, tetep ae enthuk(=dapat) bonus, minimum jembare(=luasnya) ati. Suaaabaarrrrr...

Trus iki maeng(=tadi) opo hubungane dengan hobine bapak-anak ?

Jelas-jelas sangat ada. Tadi kan sudah kubilang, pangkatnya adalah khalifah.
Dia tetap punya beban, punya keleluasaan sekaligus punya tanggungjawab.
Coba sampean bandingkan dengan ciptaanNYA yang lain, ada yang punya kelebihan seperti itu dibanding manusia ?

Adooooh, gak ngerti aku, awakmu koyok tukang-ceramah ae cak ! sing enteng-enteng aelah...sing iku maeng, biasane akeh ndik buku, Tji, tapi ngamati sehari-hari kan susaaaahhh.

Sabar cak Gondrooong, sepurane dhisik...

Halah, awakmu nek jare arek-arek, sensi gitu loooh...dudu senso(=chainsaw)..hahahahahaha..Ndak pantes! Hayoh teruuussss !!!

Yo..yo..yo...awakmu bandingno ae, perilaku manusia dengan perilaku hewan apapun, atau gunung, angin bahkan air. Mereka semua, bisa dibilang setiap harinya akan sama atau tetep. Nek ngomong Inggris, Ndrong, C and C, Curiousity and Creativity. Nalar'e mlaku, bukan cuman perasaan thok.

Wooo...melip jooo... Kuriusitii en Kreatipitii..? opo kuwi ?? nek kreatip aku ngerti puooolll.

Rasa Ingin Tahu dan Rasa Ingin berKarya... jadi endak cuman sekedar tahu dan cuman sekedar iseng..walau ternyata kelakuan sekedar tahu-iseng iki yo akeh sing nglakoni...

weh..tahu-iseng...koyok'e cocok kanggo jenenge panganan anyar, timbang tahu-brontak opo tahu-petis..siiiipppp...isine iso jenang, iso ketan, iso gulo, iso gedhang.... heheheheheheh....siiiiip....dadi gak sabar nunggu bedhug maghrib bunyi...

Heeewwwww...susaaahhh...sampean iki, mesti iming-iming jajan ae...Ndroooong

Ndak mungkin lah bapak mbek anak bakalan sama persis, berita itu kan sekedar mengikuti anggapan 'salah' masyarakat yang memang sengaja dipelihara, agar orang mudah diatur pikirannya.

Adooh...... sulit lagi kalimatmu...Tji...

[Nanang terlihat muncul dari ujung jalan, mengayuh sepeda-angin satu-satu, santai...]

Ndrong, jatahnya Nanang loh, jangan lupa, itu orangnya muncul dari sana...

Udah, dari tadi. Masih lama aja kog waktu bedhugnya...Hayoooh, mbalik omonganmu tadi

Coba kamu lihat, apa persamaan bapak-anak itu ?

Anu, tji, bapak'e maling, anak'e juga maling...

Ahh..sampean merubah kalimat berita disitu..baca lagi dong.

...hemmm...gini beritanya;..sementara si bapak masih ditahanan kantor polisi sektor manalagi karena mencopet, si anak terpaksa ditembak saat mencoba lari saat tertangkap basah membongkar dashbor mobil di kawasan tumbal-urip...
nhah..sama-sama maling kaaan.

Ah, yaa bukan. Belajarlah gak gampang nuduh...

Gini. Itulah susahnya bertahan hidup dengan nyaman dan tentram.
Hehh..wah mbuletisasi maneh..Tji

Endak Ndrong, nyaman yo diartikan kayak kamu nyetir motor diatas jalan aspal yang haluuus, lurus, ndak gronjalan, dan tidak ngebut. Coba kamu bayangkan saja kalo nyetir seperti itu, enak kaan ?

Wah, ya lebih enak ngebut, cepat sampe tujuan.

Iyaaa, tapi kan jatuh, sampe dagumu dijahit 17 kan ? mau pulang sebentar, katanya rindu emak, tapi malah dapat jahitan. bener gak ?

Ah, itu kan cuman apes.

Tidak begitu, Ndrong. Hidup ini sudah diatur, ada peraturannya. Cuman memang terserah manusia, mau ngelanggar opo ora.
Supaya tahu peraturan itu buatan manusia atau buatan Tuhan, gunakan rasa ingin tahu, artinya ya dipikir.

Wah, nek aku mikir, nek tanggal tuwo thok, piye carane oleh utangan maneh...[yah, Nanang membelok obrolan ke nasibnya]

Nek itu mikirnya pendek-pendek ae, ngebon, beressss...hihihihi

Ya piye yo nek kabeh pelanggan mikir'e ngono. aku gak suwi tinggal kenangan...

Tapi buktinya endak kaan ? coba lihat buku catetan utangnya anak-anak disini...besar sekali aku lihat, Ndrong. Tapi Gusti Allah punya cara untuk memberi hidup kamu, selama kamu berusaha. Itu mestine sampean harus cari tahu.

Trus hubungan'e mbek maling tadi ?

Iyya. mereka maling karena keenakan dapat barang tanpa berusaha. Walau ada juga yang menganggap maling adalah profesi tetap. Sehingga professional, bahkan ada tingkatan dan eselonnya. Ya karena keenakan. Ndak dipikir, mengapa kog enak, tanpa merasa benar, ada yang hilang dari dirinya.

Kalau sudah begitu, dia akan makin terjerumus. Yang dianggap makin mahir, maka makin kreatif jadi maling. Padahal enggak, ilmunya dari dulu ya tetep aja. Nunggu barangnya apa makin bagus atau enggak. Ndak ada inovasi.
Padahal dengan kreatif, maka baru muncul inovasi.
Kreatifitas itu muncul karena ada ide yang terpancing dari rasa ingin tahu tadi.
Itu baru manusia, cak.
Karena hanya manusia, dikarunia otak dan watheg.

[tiba-tiba saja, para muadzin seolah sedang mendapat kurnia dari tombol yang sama, penanda hari ujian bersama ke sekian telah usai, suara mereka mengibas bendera adzan bertempo sama. Bukaaaa...]

Lhhhaaaa...nek iki gak usah kreatif, mesthiii waaareggg....
Oh iyooo, iki obat watheg nomer wahid !!! watheg-mu Tji. Poso sedino yo jelas luweee(=lapar)

[nyengir ajalah, daripada senyum... abis kalah posisi, karena pasti mau ngutang lagii]

14 August 2008

Konglo-peras!

Siapa yang paling bisa bangga saat menemukan salah seorang anggota keluarganya disebut sebagai 'orang sukses'.
Hayooo...masak gitu aja gak bisa njawab ?

Gampanglah, ya jelas keluarganya dong.
Siapa sih yang ndak ingin sukses, dan bisa membanggakan keluarganya ?
Yang bener aja ah, kalau ada yang ndak pengen bikin bangga keluarganya. Saking kebelet pengen, atau sangat ingin buru-buru tampak membanggakan, tak sedikit yang melampaui batas tata-krama dan kepantasan.

Pamer udhel contohnya, atau bahkan ada yang mamerin semua yang bisa bikin duit, yang dipake beli 'bangga'.

Heh..bangga bisa dibeli ? Jelas telat neh kalo gak tahu. Sudah lama, rasa bangga bisa dibeli.

Macam-macam bentuknya.

Contoh ya. Masuk sekolah, masuk kampus, masuk akademi, bisa jadi contoh sederhana. Misal sekolah A adalah sekolah yang bergengsi, karena prestasi siswa-siswanya di berbagai kompetisi akademis, atau banyak pesohor yang sekolah disitu. Mungkin juga karena kualitas sekolah tersebut.

Karena banyak peminat, akhirnya sekolah menerapkan tata penerimaan siswa berupa uji kelayakan.
Bagi siswa yang cukup pandai, bukanlah soal pelik, tapi bagaimana siswa yang tak cukup pandai.
Akhirnya terjadilah praktek suap yang cukup bergengsi saking halusnya.
Bisa ditebak, bila suap diterima, maka siswa itu akan bisa diterima. Banggalah orangtuanya karena anaknya berhasil diterima bersekolah di lembaga bergengsi.
Contoh lainnya sangat banyak, cari sendiri aja.

Nah, menjadi kaya pun demikian. Siapa tidak bangga dengan ukuran kesuksesan ini ? Entah caranya apa.

Tetapi begitu banyak cara menjadi kaya ternyata berupa pemerasan. Memaksa memperoleh 'pendapatan' yang tak layak.

Banyak sekali caranya. Berdasar kekuatan pangkat atau lembaga tempatnya bekerja, ini barangkali paling jamak terjadi dan dimaafkan oleh masyarakat. Kalau pun diprotes, paling-paling oleh orang-orang yang dirugikan. Selebihnya memilih diam, atas nama tak merasa rugi.

Ada juga yang gunakan kekuatan otot semata, seperti yang banyak dilakukan oleh preman penguasa wilayah di sekitar pusat keramaian masyarakat seperti pasar atau mall.

Sudah pasti merugikan, sudah pasti banyak korban yang kehilangan sesuatu yang tak perlu hilang, tapi siapa mau protes ?

Banyak sekali kekerasan yang terjadi diam-diam disekitar kita. Sekedar mendelik, menakuti, menggebrak, sedikit melukai hingga membunuh. Dan banyak dikarenakan dengan alasan uang. Alias memeras.

Dan banyak yang sukses melakui pemerasan kepada manusia (takutnya kalo salah paham kepada sapi...)

Sungguh...
Kadang-kadang marmotji tak percaya makna keberuntungan. Karena begitu banyak pemerasan terjadi setiap hari.

Apapunlah.
Mana ada keberuntungan terjadi begitu saja.
Yang ada cuman rebutan keberuntungan, dengan merampas atau memeras.
Memeras lebih sopan dibanding merampas, dan jarang dianggap sebagai kriminalitas, maka wajar kalau pemerannya sangat banyak.

Sehingga bisa pulang kerumah dengan tenang. Dan tak lama, berhitung hari, bulan dan tahun yang pendek, maka sang pelaku ini pun jadi miliarder.
Konglomerat ? ah enggak, karena gak mikir bisnis kog. Sudahlah terima aja disebut Kongloperas atau konglomeras.


Gegar Budaya

Barangkali sudah terlampau telat menyadari, bahwa meniru adalah perilaku bayi agar cepat dianggap pinter oleh orangtuanya.

Ada seorang teman yang terheran-heran, bayinya bisa bermimik seperti dia. Bahkan ada seorang ibu yang tertawa-tawa heran, bercerita; eh tji, anakku sudah bergumam sepertiku loh...

Haduh...si emak muda ini gak tahu, betapa jagonya bayi meniru dan merekam, mangkanya ati-ati kalo memaki. Hari ini barangkali gak akan berbunyi, ntar kalo sudah remaja, baru tahu rasa. Kebingungan, anaknya jago banget memaki. Padahal meniru dari emaknya sendiri.

Seperti halnya tahun 80an atau 90an.
Demam meniru petingkah musik terbawa hingga pentas sekolah, sampai-sampai ada kepala sekolah di kota besar harus dimutasi ke pelosok desa, hanya salah menegur.
Gimana gak salah menegur, yang ditegur anak seorang gubernur, agar tidak meniru Janet Jackson waktu pentas sekolah...

Si anak mengadu ke bapaknya, dan karena si bapak adalah penguasa propinsi, gampang saja, tak perlu ditegur, pindahkan saja si kepsek ini ke daerah pelosok, hanya gara-gara pikirannya yang ndesit. Ndak bisa ngikuti jaman.

Wong niru petingkah di video saja, kog dilarang. Ndak bener ituuu...

Apalagi sekarang... saat budaya demokrasi sudah begini muuaajuu... kentut saja boleh pake mikropon.. bahkan saat nonton presiden ngoceh pun ndak usah repot, pengen kentut ya kentut..sudah hak-nya. Coba hanya gara-gara menghormati, mosok harus nahan kentut, apa kalo mules, apa ya presiden yang ngerokin ?

Sudahlah..hargai saja hak kentut berbunyi dan berbau...itu manusiawi.

Sama saja, dengan orang ngomong, perkara ada yang tersinggung sampe jengkel. Yaa salah sendiri kog dengar. Ndak mau dengar, ya ngapain masih pasang kuping.
Goblok bener, ndak suka, kog masih ndengerin.

Atas nama kekritisan, sejelek apa pun yang harus didengar.

Mosok ndak malu sama Rasulullah. Menjelang Beliau hendak berpulang aja, masih bertanya, apa ada yang merasa berpiutang dengan Beliau.
Saat ada yang mengaku, ya..Anda, yaa Rasulullah, masih punya utang sama saya, utang pukulan.

Lhaaah...sontak yang dengar, marah.
Kurang ajar banget ni orang, seorang pemimpin umat dibegitukan.. apa ndak malah sedih, mau ditinggal selamanya.

Ituuu...duuuluuu....
kritis yang santun, dan berhadap-hadapan.

Lhaaah..ini ?
santun...darimananya ?
dianggap beragama..darimananya ?
apa ya asal bisa dianggap kritis, dan dibiarkan, ndak peduli makan sekolah atau enggak ?
Lhah..ini gantian bego deh...

Semakin tua, semakin tinggi tingkat pergaulan, rasanya kesantunan makin tinggi, dan bahasa yang dipake tuh makin tinggi maknanya... enggak asbun...asal bunting eh...salah... asal bunyi.

Kekritisan berpikir ala anak SD, yang dikit-dikit tanya harus pula dibedakan dari kekritisan seorang ibu rumah tangga yang dikit-dikit tanya mengapa ada hubungan kenaikan harga listrik sama naiknya harga cabe-kriting.

Jangan-jangan marmotji memang sudah waktunya dibuang ke desa pelosok, saking ndesitnya. Ndak tahu jaman sudah berubah.

Marmotji sih sudah selalu mikir, semakin peka perasaan kita, barangkali sudah saatnya semakin tajam rasa takut menyinggung hati orang lain.
Bukan malah makin tahu macam-macam, trus seenak udhel, teriak-teriak, nuding-nuding, bahwa semuanya goblok dan ndak tahu diri.
Barangkali marmotji sudah lupa ada yang namanya Gegar Budaya.
Ada orang yang sangat merasa tahu, dan merasa berhak teriak-teriak kacak pinggang atas nama kritis..dan dibiarkan lepas dijalanan memajang aurat lingkungan, tanpa pernah bisa tahu bagaimana memperbaikinya...

Rasanya mending ndlosor di jalan, lalu Gegar Otak, daripada Gegar Budaya, karena nyakitin orang yang mustinya tak perlu terkena.
Kog nyuruh orang sakit, mbokyo sakit sendiri aja kenapa ?

Bebalisme...

Barangkali kalimat-kalimat begini jamak terdengar...
Cari yang haram saja, kog nyari yang halal...
Mbedain barang haram hari gini sama susahnya misahin lombok ma pedesnya...
Emangnya gampang jadi malaekat, jadi iblis aja banyak saingan
Tenang aja bro, neraka lagi renovasi, gak usah takut dosa...


Yah, seandainya kata-kata yang tertangkap kuping marmotji dapat ditulis semua, berapa banyak yang sepakat ?

Rasa berdosa seolah sama dengan rasa malu, padahal beda banget..sama aja dengan kesandung kerikil dan kesandung jambu busuk.

Apa beda kini kamar sal rumahsakit jiwa dan rumah tahanan ?
apa beda kini kemewahan kamar tidur di rumah dan rumah bordil ?
apa beda kini kejujuran naif, transaparansi dan sindikat mata-mata ?

Absurd ah...

Seorang kepala litbang lembaga negara pendidikan nasional dengan bangga nyatakan, ujian tahun ini ada peningkatan kualitas dibanding tahun lalu.
Rata-rata tahun ini adalah 7.20, sementara tahun lalu adalah 7.16.. hah ? itu yang kaya fasilitas dibandingin yang miskin ? yang makan sehari sekali dibandingin ma yang terkenyang-kenyang ?
Mana pantas ?

sementara para pejabat itu senang sekali mematut-matut dalam sangkar betonnya, merangkai berbagai program yang entah sebenarnya untuk siapa dalam mimpinya. Para rakyat sibuk berebut galah menggapai uang receh yang sudah diatur jumlah edarnya.

Sementara yang lain masih juga berteriak-teriak serak, atas nama rakyat katanya. Walau telah banyak bukti, membungkamnya cukup masuk dalam sangkar beton dan berkedudukan.

Tak penting kualitas, tak penting manfaat.
Makna keterbukaan adalah terbukanya aurat dan awrat...

yah..hanya karena alasan itu, alasan perut pula, nama tuhan dikukus dalam simbol. Busana, perlambang, warna, bahkan dimasukkan kedalam bentuk-bentuk yang tak mungkin selain tuhan bisa bikin.
Pokoknya keliatan beragama, pokoknya tahu dalil, pokoknya kan tahu, ini kan jaman informasi. Geblek banget gak tahu apa-apa, urusan peribadatan itu mah urusan lobby masing-masing pribadi...

Huh..Dasar Bebal...
masak bebal tak boleh berbaju rapi ?
masak bebal tak boleh pandai ?
masak bebal tak bisa nalar ?
Bebal bukan otak tempat, tapi hati...

sama halnya dengan berbagai jabatan Jampidsus, Jamdatun, jamtangan, jamdinding, atau jamputsuh ...?
apa bedanya ?

Oalaaah...Lawraaa...

Lawra, bila diucap akan sangat sama bunyinya dengan kata Laura. Dari sekian banyak tokoh yang bisa diingat saat ini dan lalu, setidaknya ada tiga karakter Laura/Lawra yang berkesan.

Masa-masa jadul, begitu kelahiran setelah 80an menyebut, saat televisi masih tunggal, TVRI, ada serial Little House in the Praire, yang mengangkat novel berjudul sama ditulis Laura Inggals. Banyak contoh pragmatis, antagonis dan etika tersusun dalam silang singkarut imigran Irlandia ke tanah Amerika, mencari kehidupan yang lebih baik. Entahlah, apa yang mereka dapati sekarang, memang sebaik mimpi mereka. Laura yang ini mencatat sebuah bagian yang menjadi fakta saat itu yang menjadi sejarah.

Di Indonesia, dua karakter lainnya masih hidup, beda dengan yang diatas. Dua-duanya pengisi dunia hiburan. Satu mengisi dengan keterbedaan cakap, satunya keterbedaan seksual.

Adakah yang belum tahu Cinta Laura ? Apa yang menjadi pembeda dari karakternya? bagaimana caranya bercakap, malah mengingatkan marmotji pada figur pak Fritz, seorang Belgia tulen, yang berusaha keras mengiris-buang logat Eropanya, dan ingin bisa utuh bertutur Indonesia bahkan dengan logat Sunda, Madura atau Jawa.

Cinta Laura justru bisa terpampang lebar di layar kaca atau media manapun justru dengan gaya ala penjajah masa 45. Tampaknya tak ada yang merasa bersalah dengan suasana itu. Namanya juga cari duit. Siapa sih yang bisa tolak kuasa duit.

Sementara karakter Laura atau biasa ditulis sebagai Lawra, muncul hanya beberapa kali di layar beling itu. Itu pun tidak secara khusus memamerkan kualitasnya sebagai penghibur, tetapi lebih banyak dieksploit keterbedaan seksualnya secara umum.
Marmotji mengenalnya di kisaran tahun 2004an, diperkenalkan oleh Bunda Waljinah, seorang diva pelantun tembang Jawa yang sangat 'ting' dan merdu, Setidaknya karena marmotji telah mendengar lengkingan suara bunda Waljinah saat masih ditimang embah lanang.

Nama Lawra untuknya, ternyata adalah singkatan yang menyirat keterbedaan seksualnya. Lanang ora, Wedhok ora, diringkas menjadi Lawra.
Postur tubuhnya yang tinggi, tegap kekar, boleh dibilang sempurna gagah, kulit putih tetapi wajah sangat feminin boleh dibilang mendekati ayu. Ehemmm....
{mosimage}
Lagak gayanya benar-benar layak dibilang seorang wanita idaman, Tutur kata halus, kerling mata menggoda, dan senyum yang menghanyutkan para penggemar yang biasanya ternganga memperhatikan ke-ayu-an wajah Lawra, tanpa pernah terpikir panjang, eh ini laki-laki tulen, hehehehe...mau ngecek apanya lagi kalau pengen tahu...?

Bahkan dalam sebuah pergelaran di pinggir waduk pembangkitan listrik di sekitar Blitar saat itu, Lawra pernah dipinang seorang jejaka di atas panggung sesaat memungkasi sebuah tembang jawa. Yah..bayangkan saja sendiri, apa kira-kira reaksi audiense seketika mendengar...

Ternyata tidak perduli laki, perempuan atau mixed, kalau bisa memberikan hiburan, bolehlah dinikmati. Kalau bisa...
Kalau tidak bisa ?
Ya samalah dalam kehidupan sehari-hari, bukan ?

Seorang maskulin akan dicap tak pantas jadi lelaki, bila mengambil sikap yang tak selayaknya dilakukan.
Atau seorang feminin juga demikian.

Seseorang kerabat dalam sebuah pertemuan, pernah melontar kalimat, pemimpin kita sekarang tuh bukan orang yang punya kelamin !, gak jelas dia, laki atau wanita.
Hehehehehehe...

Kalau maskulin bersolek pun kini telah memperoleh sebuah istilah, pria metroseksual, keren kan ? tapi marmotji belum pernah dengar istilah bagi seorang wanita yang tak peduli pentingnya bersolek. siapa sih yang bisa memulai ?

Ternyata ada yang menarik dari tiga laura itu, pentingnya berani memilih dan bersikap, entah jantan atau betina. Tentu saja jelas dan tegas bersikap. Yang berani menghindar atau menghadapi. Dua pilihan yang cukup ditunjuk satu saja. Betul gak ?

Dari pada menggantung, punya kewenangan, punya jabatan, tapi tak berani bersikap, kira-kira perlu disebut apa ? Masak ndak malu sama Ryan, yang marmotji yakin tak akan perduli dengan berbagai sebutan yang kini disandangnya. Entah jagaljombang, eh psikopat..eh...maniak eh...klepto... tetapi dia toh punya kekhasan yang bisa dikenang.

Lha, buat apa punya kewenangan, punya kekuasaan, punya peran, kog endak dipake...
mau jadi apa..? wong gelaran itu ndak mencerminkan apa-apa bagi marmotji, cuman sekadar stempel agar gampang dinilai seberapa besar bayaran yang dia minta. Betul gak ? itu tanda keminderan yang tersembunyi. hehehehehe...sedikitnya dibanding sama Lawra.

ada yang tersinggung ? ya silakan malu sendiri, Sudah jelas mengakui ketidakberdayaan kog masih berani tersinggung. Huh.