14 June 2008

Guru Berdiri, Murid Ternganga ?

Pepatah seperti itu mungkin hanya ada dibenak marmotji, saat mengingat-ingat apa saja yang dibutuhkan saat dulu berangkat sekolah.
Guru adalah satu figur contoh yang begitu kuat diletakkan kultur di dalam lingkungan marmotji.
Contoh yang lain, mungkin saja datang dari orang tua.

Radio, hanya salah satu penanda waktu, acara-acaranya silih berganti setiap jam. Satu keuntungan bila tak ada jam yang menempel di dinding atau melingkar ditangan.
Justru karenanya, jam masih dilihat sebagai barang mewah kelengkapan suatu rumah.

Sebuah kebiasaan yang begitu kuat melekat dalam pikiran tiap orang yang sempat hidup di masa itu.
Tak ada jam, bolehlah radio sebagai penanda waktu. Jadi wajar saja bila ada jam jenis baru, jam karet.

Ya, gimana lagi, tak ada ketepatan menit. Tak ada hitungan mundur, 15 menit, 10 menit sebelum jam itu.

Kultur jam karet bukanlah sesuatu yang memalukan sekali, akhirnya hilang saat begitu banyak bentuk jam yang dijual dengan harga yang terjangkau bertahun kemudian.

Salah satu contoh orangtua yang menandai keberangkatan ke sekolah cukup dari acara RRI, yang memutar piringan hitam menyuarakan paduan suara Padamu Negeri, atau pada hari senin, pasti lagu Tanjung Perak, Tepi Laut..dan seterusnya..dan seterusnya.

Salah satu contoh guru menandai waktu istirahat adalah dari lewatnya iring-iringan sepeda motor polisi yang mulai berpatroli. Deru sepeda motor besar bercat putih, dari kejauhan cukup memberikan tahu beliau, bahwa istirahat dapat dimulai, dan kami berhamburan menuju pagar sekolah, hanya sekedar lambaikan tangan pada para polisi yang cukup ramah membalas dengan senyum gagah mereka.

Yah, begitulah contoh.
seperti pepatah lainnya juga, Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari.
Bisa bayangkan bagaimana bukan ?
Untungnya tak ada pepatah yang gambarkan bagaimana cara para guru berak, lalu sebaiknya bagaimana para murid mengikutinya.
{mosimage}Lalu mampukah anda, memaknai pesan gambar seperti ini ?

Apakah ada hubungan antara jongkok dan duduk saat berak, dengan nilai kecerdasan tertentu, sehingga perlu mengusik nilai kesantuan dengan mengunjukkan kata terimakasih.

Semoga hanya berbeda kebiasaan. Tetapi jika ternyata kebiasaan mampu menjadi pemisah antara batas inferioritas dan superioritas, maka bisakah bapak-ibu guru mencontohkan sebaiknya bagaimana cara santun saat menunjukkan rasa perut yang tak enak ? Apa cukup kata 'kebelet' ?

Pergaulan dalam lingkungan yang berbeda tentu memberikan pelbagai keterkejutan yang bisa menggiring kekaguman atau ketersingkiran. Gegar budaya ? Bisakah kegegaran mampu bikin kecerdasan bergaul, atau terbitkan kebijakan baru ?

Manakah budaya yang lebih baik diadaptasi ?
Jangan-jangan ada beberapa kebiasaan baik dan bagus terlepas begitu saja tanpa pernah ada yang resah. Tak pernah ada yang melakukannya lagi.

Saat tiba sebuah kebiasaan baru datang pun, menjadi sebuah batasan, tak ada lagi yang lebih baik darinya.

Aah...cuman berak aja kog ndak boleh jongkok. Mengapa jamban duduk diberi nama toilet...? Bukankah toilet itu nama ruang kamar mandi...atau sudah berubah makna menjadi ruang peturasan saja ?
Oooh...mengapa ya tak ada buku tatacara mandi, tatacara buang air kecil dan besar. Gak penting ? lalu apalagi yang lebih penting dari cara mengenali sebuah budaya keluarga dari caranya menata ruang mandinya ?

Budaya yang mengajarkan tak boleh berlama-lama dalam kamar mandi, berhadapan dengan budaya yang tak menganggap keliru, bisa melakukan perbincangan saat buang kencing, bahkan mengisi teka-teki silang, baca buku pelajaran saat buang kotoran perut ?

Sekali lagi, budaya apa yang perlu dimaknai dan diteruskan ?