20 August 2008

Klepto Sirosis

Anda pernah dengar sirosis, atau masih kurang yakin dengan informasi yang dimiliki tentangnya,
silakan googling saja dengan kata kunci=sirosis.

Awalnya memang dari dunia medis, bahwa penyakit sirosis ini menahun dan mengenai hati.

Bahkan di dunia medis Indonesia pun, telah disusun sebuah organisasi, PPHI, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, mengingat betapa besar ancaman penyakit terhadap organ satu ini.
Menariknya lagi, bahwa organ hati membawa peran yang sama pentingnya dengan organ tubuh lainnya.

Nah, hal ini bukan asal disambung-sambung atau otak-atik-gathuk, tetapi jika direnungkan dan dianalisa, rasanya penyakit klepto varian ini pun memiliki gejala yang sama, bahkan memiliki akibat yang mirip setelah mengidapnya.

Coba amati uraian secara etimologis, yang dicuplik dari www.panikon.com/phurba/alteng/k.html
------------------------------------------------------------------
Klepto - "Kleptomaniac." See "kleptomaniac."
Kleptocracy - "a Government Characterised by Greed and Corruption." From the Greek roots

"kleptein" = "to steal" and "krateo" = "to rule, hold sway"
Kleptolagnia - "Sexual Excitement from Theft." From the Greek roots "kleptein" = "to steal" and

"lagneia" = "coition, intercourse"
Kleptomania - "Pathologically Inclined to Steal." This is pseudo-Greek, from the words "klepto,"

meaning "to steal," and "mania," meaning "madness; enthusiasm or inspired frenzy." See "mania."
Kleptophobia - "An Irrational Fear of Stealing, Theives or Loss by Theft." Also spelled

"cleptophobia." From the Greek root "klepto" = "to steal" and the suffix "-phobia."
------------------------------------------------------------------
Lalu, bagaimana memahami rangkaian kleptosirosis, yang secara etimologis belum diakui tapi sudah jamak terjadi di negeri ini.

Jika membayangkan perilaku seorang pegawai baru, yang ingin menerima gaji sesuai keringat yang ia cucurkan.
Selalu diingat-ingat, bagaimana komitmennya ditanyakan, dikonfirmasikan dan didiskusikan beberapa kali saat melamar pekerjaan yang diidamkan.
Saat diterima, selalu diingatkan, aturan-aturan main, tuntutan dan tuntunan profesionalisme atau loyalitas agar selalu meletakkan kepentingan kelembagaan yang menerima dirinya.
Beberapa hari berjalan, setelah masa adaptasi mulai memudar, dan rekan sekerja perlahan mulai dapat berakrab ria, mulailah suasana bertanya-tanya, kenapa begitu serta mengapa begini.
Mulai ketidaksesuaian apa yang dijanjikan, apa yang dimintakan, apa yang terpenuhkan.

Nah, apalagi saat bertemu dengan penyimpangan yang menguntungkan kantong pribadi, semakin bingung. Teriming-iming ? mungkin tidak, tapi tak menampik sebaliknya.
Jika tertarik dengan iming-iming itu, tentu mulai dari yang terkecil, hingga mahir, lalu meningkat sampai jumlah yang sangat menggiurkan. Sebesar apa, tentu bergantung pada kemampuannya. Kalau perlu, kemahiran, ketrampilan, talenta hingga intelegensia dipaksa terasah simultan.
Terasa itu salah, jawabannya lagi-lagi bisa ya, bisa tidak.
Malah saking terasahnya, dapat menemukan argumentasi logis, mengapa terjadi atau kenapa dimungkinkan dengan nalar hukum atau aturan-aturan tertulis lainnya.
Bahkan, bisa saja secara akademis terhormat, mengutip data-data sahih statistik untuk dipamerkan, bahwa argumentasinya semata-mata benar tanpa cacat.
Akhirnya terkikislah rasa bersalah karena melakukan hal yang melawan tatakrama umum dan tatanan lainnya.
Coba saja ikuti, betapa rumit perundingan RI-Singapura tentang ekstradisi koruptor yang telah berlangsung nyaris 5 tahun. Bahkan hingga G2G, masih juga mengalami kendala.

Unsur waktu dari seorang pengutil kelas teri sampai bisa maksimum sangat relatif, bergantung beberapa hal, antara lain, besarnya kesempatan, besarnya komunitas, besar daya tawar bahkan besarnya sistem yang mampu direkrut, hingga alasan klasik seperti tidak ada kesempatan berkarir lebih baik atau malas.
Dan dengan cepat pula menular pada personal lain, karena faktor iming-iming.
Boleh saja dianggap akibat sistem kooptasi.

Sekali lagi harus dicerna, terasakah itu salah ? Jika tidak, maka tanda-tanda seperti sirosis sudah bisa dikenali.
Maka lengkap sudah, tengara stadium awal kleptosirosis sudah diidap.
Terhormatlah bangsa ini, penemuan besar abad ini, yang justru tumbuh-kembangnya di negeri tropis, ditemukan jenis penyakit yang dapat digolongkan penyakit multi-analisis-disiplin, baik medis, finansial, sistem sosial hingga psikologis klinis; KLEPTOSIROSIS.
Semoga sebentar lagi sudah dapat dinyatakan siapa penemu sejatinya. Kalau sampai akhir abad ini belum diketemukan, maka sah-sah saja saya menyatakan diri sebagai penemunya.

Obat Watheg Nomer Wahid

Wah, pancet ae ! dasar bapak-anak model'e podho ae ! Ngene iki jenenge buah jatuh tak jauh dari pohonnya !!

Nek buah jatuh jauh dari pohonnya iku jenenge kepetil(=terpukul palu) eh ketepil(=terkena batu katapel), hahahaha.. sampean iki aneh-aneh ae caaak...

Enggak lah, Tji. Iki loh, mbaca koran, berita tentang anak yang meneruskan kebiasaan bapaknya yang senengane masang togel. Dasar kelakuan turunan kan ?
hobi bapak pasti nurun ke anaknya, betul kan ? opo maneh watheg(=watak)
perasaan kamu sudah baca tadi.

Ndrong, sampean kog yo ono-ono ae..
Jangan gitulah, manusia, walau dia secara status sama saja dengan ciptaan Sing Nggawe Nyowo lainnya, tetap saja beda, hanya manusia yang punya pangkat khalifah, lainnya blaaasss...mangkane talah, mbukak cuman koran, mbok mbukak buku

Lhah lak mesthi awakmu iki, diajak bincang-bincang-enteng(BBE), selalu beloknya mbek urusan ketuhanan. Ahhh....

Haiyahh..!!! marmotji iki gak isok urip enteng, mangkane awak'e yo gak iso enteng..hahahahhaha...

Duh, jok ngono talah, sing aku ngomong tadi juga enteng.

Husss...!!! Sing Nyetak Bumi-Bulan dibilang enteng, kualat !!!

Endak. Yang aku maksud bukan itu, tapi ngobrolnya yang enteng, karena Gusti Allah selalu sesuai dengan prasangka manusia, koyok lagune Bimbo. aku jauh, Engkau jauh, aku dekat, Engkau dekat. Karena DIA selalu lebih dekat dengan kita, bahkan dibanding urat-nadi kita.
Jadi walau ngomongnya enteng, tapi nek niat'e tetep nggo eling-eling Gusti Allah, tetep ae enthuk(=dapat) bonus, minimum jembare(=luasnya) ati. Suaaabaarrrrr...

Trus iki maeng(=tadi) opo hubungane dengan hobine bapak-anak ?

Jelas-jelas sangat ada. Tadi kan sudah kubilang, pangkatnya adalah khalifah.
Dia tetap punya beban, punya keleluasaan sekaligus punya tanggungjawab.
Coba sampean bandingkan dengan ciptaanNYA yang lain, ada yang punya kelebihan seperti itu dibanding manusia ?

Adooooh, gak ngerti aku, awakmu koyok tukang-ceramah ae cak ! sing enteng-enteng aelah...sing iku maeng, biasane akeh ndik buku, Tji, tapi ngamati sehari-hari kan susaaaahhh.

Sabar cak Gondrooong, sepurane dhisik...

Halah, awakmu nek jare arek-arek, sensi gitu loooh...dudu senso(=chainsaw)..hahahahahaha..Ndak pantes! Hayoh teruuussss !!!

Yo..yo..yo...awakmu bandingno ae, perilaku manusia dengan perilaku hewan apapun, atau gunung, angin bahkan air. Mereka semua, bisa dibilang setiap harinya akan sama atau tetep. Nek ngomong Inggris, Ndrong, C and C, Curiousity and Creativity. Nalar'e mlaku, bukan cuman perasaan thok.

Wooo...melip jooo... Kuriusitii en Kreatipitii..? opo kuwi ?? nek kreatip aku ngerti puooolll.

Rasa Ingin Tahu dan Rasa Ingin berKarya... jadi endak cuman sekedar tahu dan cuman sekedar iseng..walau ternyata kelakuan sekedar tahu-iseng iki yo akeh sing nglakoni...

weh..tahu-iseng...koyok'e cocok kanggo jenenge panganan anyar, timbang tahu-brontak opo tahu-petis..siiiipppp...isine iso jenang, iso ketan, iso gulo, iso gedhang.... heheheheheheh....siiiiip....dadi gak sabar nunggu bedhug maghrib bunyi...

Heeewwwww...susaaahhh...sampean iki, mesti iming-iming jajan ae...Ndroooong

Ndak mungkin lah bapak mbek anak bakalan sama persis, berita itu kan sekedar mengikuti anggapan 'salah' masyarakat yang memang sengaja dipelihara, agar orang mudah diatur pikirannya.

Adooh...... sulit lagi kalimatmu...Tji...

[Nanang terlihat muncul dari ujung jalan, mengayuh sepeda-angin satu-satu, santai...]

Ndrong, jatahnya Nanang loh, jangan lupa, itu orangnya muncul dari sana...

Udah, dari tadi. Masih lama aja kog waktu bedhugnya...Hayoooh, mbalik omonganmu tadi

Coba kamu lihat, apa persamaan bapak-anak itu ?

Anu, tji, bapak'e maling, anak'e juga maling...

Ahh..sampean merubah kalimat berita disitu..baca lagi dong.

...hemmm...gini beritanya;..sementara si bapak masih ditahanan kantor polisi sektor manalagi karena mencopet, si anak terpaksa ditembak saat mencoba lari saat tertangkap basah membongkar dashbor mobil di kawasan tumbal-urip...
nhah..sama-sama maling kaaan.

Ah, yaa bukan. Belajarlah gak gampang nuduh...

Gini. Itulah susahnya bertahan hidup dengan nyaman dan tentram.
Hehh..wah mbuletisasi maneh..Tji

Endak Ndrong, nyaman yo diartikan kayak kamu nyetir motor diatas jalan aspal yang haluuus, lurus, ndak gronjalan, dan tidak ngebut. Coba kamu bayangkan saja kalo nyetir seperti itu, enak kaan ?

Wah, ya lebih enak ngebut, cepat sampe tujuan.

Iyaaa, tapi kan jatuh, sampe dagumu dijahit 17 kan ? mau pulang sebentar, katanya rindu emak, tapi malah dapat jahitan. bener gak ?

Ah, itu kan cuman apes.

Tidak begitu, Ndrong. Hidup ini sudah diatur, ada peraturannya. Cuman memang terserah manusia, mau ngelanggar opo ora.
Supaya tahu peraturan itu buatan manusia atau buatan Tuhan, gunakan rasa ingin tahu, artinya ya dipikir.

Wah, nek aku mikir, nek tanggal tuwo thok, piye carane oleh utangan maneh...[yah, Nanang membelok obrolan ke nasibnya]

Nek itu mikirnya pendek-pendek ae, ngebon, beressss...hihihihi

Ya piye yo nek kabeh pelanggan mikir'e ngono. aku gak suwi tinggal kenangan...

Tapi buktinya endak kaan ? coba lihat buku catetan utangnya anak-anak disini...besar sekali aku lihat, Ndrong. Tapi Gusti Allah punya cara untuk memberi hidup kamu, selama kamu berusaha. Itu mestine sampean harus cari tahu.

Trus hubungan'e mbek maling tadi ?

Iyya. mereka maling karena keenakan dapat barang tanpa berusaha. Walau ada juga yang menganggap maling adalah profesi tetap. Sehingga professional, bahkan ada tingkatan dan eselonnya. Ya karena keenakan. Ndak dipikir, mengapa kog enak, tanpa merasa benar, ada yang hilang dari dirinya.

Kalau sudah begitu, dia akan makin terjerumus. Yang dianggap makin mahir, maka makin kreatif jadi maling. Padahal enggak, ilmunya dari dulu ya tetep aja. Nunggu barangnya apa makin bagus atau enggak. Ndak ada inovasi.
Padahal dengan kreatif, maka baru muncul inovasi.
Kreatifitas itu muncul karena ada ide yang terpancing dari rasa ingin tahu tadi.
Itu baru manusia, cak.
Karena hanya manusia, dikarunia otak dan watheg.

[tiba-tiba saja, para muadzin seolah sedang mendapat kurnia dari tombol yang sama, penanda hari ujian bersama ke sekian telah usai, suara mereka mengibas bendera adzan bertempo sama. Bukaaaa...]

Lhhhaaaa...nek iki gak usah kreatif, mesthiii waaareggg....
Oh iyooo, iki obat watheg nomer wahid !!! watheg-mu Tji. Poso sedino yo jelas luweee(=lapar)

[nyengir ajalah, daripada senyum... abis kalah posisi, karena pasti mau ngutang lagii]

14 August 2008

Konglo-peras!

Siapa yang paling bisa bangga saat menemukan salah seorang anggota keluarganya disebut sebagai 'orang sukses'.
Hayooo...masak gitu aja gak bisa njawab ?

Gampanglah, ya jelas keluarganya dong.
Siapa sih yang ndak ingin sukses, dan bisa membanggakan keluarganya ?
Yang bener aja ah, kalau ada yang ndak pengen bikin bangga keluarganya. Saking kebelet pengen, atau sangat ingin buru-buru tampak membanggakan, tak sedikit yang melampaui batas tata-krama dan kepantasan.

Pamer udhel contohnya, atau bahkan ada yang mamerin semua yang bisa bikin duit, yang dipake beli 'bangga'.

Heh..bangga bisa dibeli ? Jelas telat neh kalo gak tahu. Sudah lama, rasa bangga bisa dibeli.

Macam-macam bentuknya.

Contoh ya. Masuk sekolah, masuk kampus, masuk akademi, bisa jadi contoh sederhana. Misal sekolah A adalah sekolah yang bergengsi, karena prestasi siswa-siswanya di berbagai kompetisi akademis, atau banyak pesohor yang sekolah disitu. Mungkin juga karena kualitas sekolah tersebut.

Karena banyak peminat, akhirnya sekolah menerapkan tata penerimaan siswa berupa uji kelayakan.
Bagi siswa yang cukup pandai, bukanlah soal pelik, tapi bagaimana siswa yang tak cukup pandai.
Akhirnya terjadilah praktek suap yang cukup bergengsi saking halusnya.
Bisa ditebak, bila suap diterima, maka siswa itu akan bisa diterima. Banggalah orangtuanya karena anaknya berhasil diterima bersekolah di lembaga bergengsi.
Contoh lainnya sangat banyak, cari sendiri aja.

Nah, menjadi kaya pun demikian. Siapa tidak bangga dengan ukuran kesuksesan ini ? Entah caranya apa.

Tetapi begitu banyak cara menjadi kaya ternyata berupa pemerasan. Memaksa memperoleh 'pendapatan' yang tak layak.

Banyak sekali caranya. Berdasar kekuatan pangkat atau lembaga tempatnya bekerja, ini barangkali paling jamak terjadi dan dimaafkan oleh masyarakat. Kalau pun diprotes, paling-paling oleh orang-orang yang dirugikan. Selebihnya memilih diam, atas nama tak merasa rugi.

Ada juga yang gunakan kekuatan otot semata, seperti yang banyak dilakukan oleh preman penguasa wilayah di sekitar pusat keramaian masyarakat seperti pasar atau mall.

Sudah pasti merugikan, sudah pasti banyak korban yang kehilangan sesuatu yang tak perlu hilang, tapi siapa mau protes ?

Banyak sekali kekerasan yang terjadi diam-diam disekitar kita. Sekedar mendelik, menakuti, menggebrak, sedikit melukai hingga membunuh. Dan banyak dikarenakan dengan alasan uang. Alias memeras.

Dan banyak yang sukses melakui pemerasan kepada manusia (takutnya kalo salah paham kepada sapi...)

Sungguh...
Kadang-kadang marmotji tak percaya makna keberuntungan. Karena begitu banyak pemerasan terjadi setiap hari.

Apapunlah.
Mana ada keberuntungan terjadi begitu saja.
Yang ada cuman rebutan keberuntungan, dengan merampas atau memeras.
Memeras lebih sopan dibanding merampas, dan jarang dianggap sebagai kriminalitas, maka wajar kalau pemerannya sangat banyak.

Sehingga bisa pulang kerumah dengan tenang. Dan tak lama, berhitung hari, bulan dan tahun yang pendek, maka sang pelaku ini pun jadi miliarder.
Konglomerat ? ah enggak, karena gak mikir bisnis kog. Sudahlah terima aja disebut Kongloperas atau konglomeras.


Gegar Budaya

Barangkali sudah terlampau telat menyadari, bahwa meniru adalah perilaku bayi agar cepat dianggap pinter oleh orangtuanya.

Ada seorang teman yang terheran-heran, bayinya bisa bermimik seperti dia. Bahkan ada seorang ibu yang tertawa-tawa heran, bercerita; eh tji, anakku sudah bergumam sepertiku loh...

Haduh...si emak muda ini gak tahu, betapa jagonya bayi meniru dan merekam, mangkanya ati-ati kalo memaki. Hari ini barangkali gak akan berbunyi, ntar kalo sudah remaja, baru tahu rasa. Kebingungan, anaknya jago banget memaki. Padahal meniru dari emaknya sendiri.

Seperti halnya tahun 80an atau 90an.
Demam meniru petingkah musik terbawa hingga pentas sekolah, sampai-sampai ada kepala sekolah di kota besar harus dimutasi ke pelosok desa, hanya salah menegur.
Gimana gak salah menegur, yang ditegur anak seorang gubernur, agar tidak meniru Janet Jackson waktu pentas sekolah...

Si anak mengadu ke bapaknya, dan karena si bapak adalah penguasa propinsi, gampang saja, tak perlu ditegur, pindahkan saja si kepsek ini ke daerah pelosok, hanya gara-gara pikirannya yang ndesit. Ndak bisa ngikuti jaman.

Wong niru petingkah di video saja, kog dilarang. Ndak bener ituuu...

Apalagi sekarang... saat budaya demokrasi sudah begini muuaajuu... kentut saja boleh pake mikropon.. bahkan saat nonton presiden ngoceh pun ndak usah repot, pengen kentut ya kentut..sudah hak-nya. Coba hanya gara-gara menghormati, mosok harus nahan kentut, apa kalo mules, apa ya presiden yang ngerokin ?

Sudahlah..hargai saja hak kentut berbunyi dan berbau...itu manusiawi.

Sama saja, dengan orang ngomong, perkara ada yang tersinggung sampe jengkel. Yaa salah sendiri kog dengar. Ndak mau dengar, ya ngapain masih pasang kuping.
Goblok bener, ndak suka, kog masih ndengerin.

Atas nama kekritisan, sejelek apa pun yang harus didengar.

Mosok ndak malu sama Rasulullah. Menjelang Beliau hendak berpulang aja, masih bertanya, apa ada yang merasa berpiutang dengan Beliau.
Saat ada yang mengaku, ya..Anda, yaa Rasulullah, masih punya utang sama saya, utang pukulan.

Lhaaah...sontak yang dengar, marah.
Kurang ajar banget ni orang, seorang pemimpin umat dibegitukan.. apa ndak malah sedih, mau ditinggal selamanya.

Ituuu...duuuluuu....
kritis yang santun, dan berhadap-hadapan.

Lhaaah..ini ?
santun...darimananya ?
dianggap beragama..darimananya ?
apa ya asal bisa dianggap kritis, dan dibiarkan, ndak peduli makan sekolah atau enggak ?
Lhah..ini gantian bego deh...

Semakin tua, semakin tinggi tingkat pergaulan, rasanya kesantunan makin tinggi, dan bahasa yang dipake tuh makin tinggi maknanya... enggak asbun...asal bunting eh...salah... asal bunyi.

Kekritisan berpikir ala anak SD, yang dikit-dikit tanya harus pula dibedakan dari kekritisan seorang ibu rumah tangga yang dikit-dikit tanya mengapa ada hubungan kenaikan harga listrik sama naiknya harga cabe-kriting.

Jangan-jangan marmotji memang sudah waktunya dibuang ke desa pelosok, saking ndesitnya. Ndak tahu jaman sudah berubah.

Marmotji sih sudah selalu mikir, semakin peka perasaan kita, barangkali sudah saatnya semakin tajam rasa takut menyinggung hati orang lain.
Bukan malah makin tahu macam-macam, trus seenak udhel, teriak-teriak, nuding-nuding, bahwa semuanya goblok dan ndak tahu diri.
Barangkali marmotji sudah lupa ada yang namanya Gegar Budaya.
Ada orang yang sangat merasa tahu, dan merasa berhak teriak-teriak kacak pinggang atas nama kritis..dan dibiarkan lepas dijalanan memajang aurat lingkungan, tanpa pernah bisa tahu bagaimana memperbaikinya...

Rasanya mending ndlosor di jalan, lalu Gegar Otak, daripada Gegar Budaya, karena nyakitin orang yang mustinya tak perlu terkena.
Kog nyuruh orang sakit, mbokyo sakit sendiri aja kenapa ?

Bebalisme...

Barangkali kalimat-kalimat begini jamak terdengar...
Cari yang haram saja, kog nyari yang halal...
Mbedain barang haram hari gini sama susahnya misahin lombok ma pedesnya...
Emangnya gampang jadi malaekat, jadi iblis aja banyak saingan
Tenang aja bro, neraka lagi renovasi, gak usah takut dosa...


Yah, seandainya kata-kata yang tertangkap kuping marmotji dapat ditulis semua, berapa banyak yang sepakat ?

Rasa berdosa seolah sama dengan rasa malu, padahal beda banget..sama aja dengan kesandung kerikil dan kesandung jambu busuk.

Apa beda kini kamar sal rumahsakit jiwa dan rumah tahanan ?
apa beda kini kemewahan kamar tidur di rumah dan rumah bordil ?
apa beda kini kejujuran naif, transaparansi dan sindikat mata-mata ?

Absurd ah...

Seorang kepala litbang lembaga negara pendidikan nasional dengan bangga nyatakan, ujian tahun ini ada peningkatan kualitas dibanding tahun lalu.
Rata-rata tahun ini adalah 7.20, sementara tahun lalu adalah 7.16.. hah ? itu yang kaya fasilitas dibandingin yang miskin ? yang makan sehari sekali dibandingin ma yang terkenyang-kenyang ?
Mana pantas ?

sementara para pejabat itu senang sekali mematut-matut dalam sangkar betonnya, merangkai berbagai program yang entah sebenarnya untuk siapa dalam mimpinya. Para rakyat sibuk berebut galah menggapai uang receh yang sudah diatur jumlah edarnya.

Sementara yang lain masih juga berteriak-teriak serak, atas nama rakyat katanya. Walau telah banyak bukti, membungkamnya cukup masuk dalam sangkar beton dan berkedudukan.

Tak penting kualitas, tak penting manfaat.
Makna keterbukaan adalah terbukanya aurat dan awrat...

yah..hanya karena alasan itu, alasan perut pula, nama tuhan dikukus dalam simbol. Busana, perlambang, warna, bahkan dimasukkan kedalam bentuk-bentuk yang tak mungkin selain tuhan bisa bikin.
Pokoknya keliatan beragama, pokoknya tahu dalil, pokoknya kan tahu, ini kan jaman informasi. Geblek banget gak tahu apa-apa, urusan peribadatan itu mah urusan lobby masing-masing pribadi...

Huh..Dasar Bebal...
masak bebal tak boleh berbaju rapi ?
masak bebal tak boleh pandai ?
masak bebal tak bisa nalar ?
Bebal bukan otak tempat, tapi hati...

sama halnya dengan berbagai jabatan Jampidsus, Jamdatun, jamtangan, jamdinding, atau jamputsuh ...?
apa bedanya ?

Oalaaah...Lawraaa...

Lawra, bila diucap akan sangat sama bunyinya dengan kata Laura. Dari sekian banyak tokoh yang bisa diingat saat ini dan lalu, setidaknya ada tiga karakter Laura/Lawra yang berkesan.

Masa-masa jadul, begitu kelahiran setelah 80an menyebut, saat televisi masih tunggal, TVRI, ada serial Little House in the Praire, yang mengangkat novel berjudul sama ditulis Laura Inggals. Banyak contoh pragmatis, antagonis dan etika tersusun dalam silang singkarut imigran Irlandia ke tanah Amerika, mencari kehidupan yang lebih baik. Entahlah, apa yang mereka dapati sekarang, memang sebaik mimpi mereka. Laura yang ini mencatat sebuah bagian yang menjadi fakta saat itu yang menjadi sejarah.

Di Indonesia, dua karakter lainnya masih hidup, beda dengan yang diatas. Dua-duanya pengisi dunia hiburan. Satu mengisi dengan keterbedaan cakap, satunya keterbedaan seksual.

Adakah yang belum tahu Cinta Laura ? Apa yang menjadi pembeda dari karakternya? bagaimana caranya bercakap, malah mengingatkan marmotji pada figur pak Fritz, seorang Belgia tulen, yang berusaha keras mengiris-buang logat Eropanya, dan ingin bisa utuh bertutur Indonesia bahkan dengan logat Sunda, Madura atau Jawa.

Cinta Laura justru bisa terpampang lebar di layar kaca atau media manapun justru dengan gaya ala penjajah masa 45. Tampaknya tak ada yang merasa bersalah dengan suasana itu. Namanya juga cari duit. Siapa sih yang bisa tolak kuasa duit.

Sementara karakter Laura atau biasa ditulis sebagai Lawra, muncul hanya beberapa kali di layar beling itu. Itu pun tidak secara khusus memamerkan kualitasnya sebagai penghibur, tetapi lebih banyak dieksploit keterbedaan seksualnya secara umum.
Marmotji mengenalnya di kisaran tahun 2004an, diperkenalkan oleh Bunda Waljinah, seorang diva pelantun tembang Jawa yang sangat 'ting' dan merdu, Setidaknya karena marmotji telah mendengar lengkingan suara bunda Waljinah saat masih ditimang embah lanang.

Nama Lawra untuknya, ternyata adalah singkatan yang menyirat keterbedaan seksualnya. Lanang ora, Wedhok ora, diringkas menjadi Lawra.
Postur tubuhnya yang tinggi, tegap kekar, boleh dibilang sempurna gagah, kulit putih tetapi wajah sangat feminin boleh dibilang mendekati ayu. Ehemmm....
{mosimage}
Lagak gayanya benar-benar layak dibilang seorang wanita idaman, Tutur kata halus, kerling mata menggoda, dan senyum yang menghanyutkan para penggemar yang biasanya ternganga memperhatikan ke-ayu-an wajah Lawra, tanpa pernah terpikir panjang, eh ini laki-laki tulen, hehehehe...mau ngecek apanya lagi kalau pengen tahu...?

Bahkan dalam sebuah pergelaran di pinggir waduk pembangkitan listrik di sekitar Blitar saat itu, Lawra pernah dipinang seorang jejaka di atas panggung sesaat memungkasi sebuah tembang jawa. Yah..bayangkan saja sendiri, apa kira-kira reaksi audiense seketika mendengar...

Ternyata tidak perduli laki, perempuan atau mixed, kalau bisa memberikan hiburan, bolehlah dinikmati. Kalau bisa...
Kalau tidak bisa ?
Ya samalah dalam kehidupan sehari-hari, bukan ?

Seorang maskulin akan dicap tak pantas jadi lelaki, bila mengambil sikap yang tak selayaknya dilakukan.
Atau seorang feminin juga demikian.

Seseorang kerabat dalam sebuah pertemuan, pernah melontar kalimat, pemimpin kita sekarang tuh bukan orang yang punya kelamin !, gak jelas dia, laki atau wanita.
Hehehehehehe...

Kalau maskulin bersolek pun kini telah memperoleh sebuah istilah, pria metroseksual, keren kan ? tapi marmotji belum pernah dengar istilah bagi seorang wanita yang tak peduli pentingnya bersolek. siapa sih yang bisa memulai ?

Ternyata ada yang menarik dari tiga laura itu, pentingnya berani memilih dan bersikap, entah jantan atau betina. Tentu saja jelas dan tegas bersikap. Yang berani menghindar atau menghadapi. Dua pilihan yang cukup ditunjuk satu saja. Betul gak ?

Dari pada menggantung, punya kewenangan, punya jabatan, tapi tak berani bersikap, kira-kira perlu disebut apa ? Masak ndak malu sama Ryan, yang marmotji yakin tak akan perduli dengan berbagai sebutan yang kini disandangnya. Entah jagaljombang, eh psikopat..eh...maniak eh...klepto... tetapi dia toh punya kekhasan yang bisa dikenang.

Lha, buat apa punya kewenangan, punya kekuasaan, punya peran, kog endak dipake...
mau jadi apa..? wong gelaran itu ndak mencerminkan apa-apa bagi marmotji, cuman sekadar stempel agar gampang dinilai seberapa besar bayaran yang dia minta. Betul gak ? itu tanda keminderan yang tersembunyi. hehehehehe...sedikitnya dibanding sama Lawra.

ada yang tersinggung ? ya silakan malu sendiri, Sudah jelas mengakui ketidakberdayaan kog masih berani tersinggung. Huh.

21 July 2008

Kuali Genthong !

Waduh, awakmu iki, tambah ndino, tambah medhit!!!. Medhit(=kikir) kuwi kerak neraka loh cak !
Wushhh...kamu ini ngebon bin ngutang aja cerewet !!!

Kenapa sih, tadi sepi-santai, kog tiba-tiba jadi perang serapah. Ndak baik, saling maki antar teman, nanti jadi fitnah. Heh, Ndrong, sing apik(=baik) talah, ngladeni(=melayani) pelanggan. mosok teh ndak ada rasa teh sama sekali.
Kadang malah rasa sabun !!!

Nang, sekali lagi kamu ndak diam, aku cubles(tusuk) garpu. Diam. Ndak suka minum disini ya sudah, cari warung lain.

Aku ini ngritik, menegur, mengingatkan, tambah ndino, sajianmu makin tak berselera...
Sebagai teman, kewajibanku kan mengingatkan, ngono cak, kata ustad Farhan.
[ustad Farhan ini, adalah teman marmotji sejak kecil, cuman beda nasib, dan kebetulan ayahnya adalah ulama besar, sehingga di usia muda, Farhan sudah menyandang panggilan ustad]

Iyooo, kamu memang mengingatkan, tapi caramu itu membuat sakit hati.

Terus ? Apa ada cara yang lebih baik, kamu kan ndak pernah coba minum teh buatanmu sendiri, iya kan ?

Yak opo tji, kelakuanmu tetep aja, orang bertengkar, nengok aja endak ? ketularan penyakit sak'enak'e dhewe ya ?

loh, loh, loh...jangan biasa minta dilerai, itu tandanya lemah mental, lemah semangat, lemah kemauan. Silakan bertengkar mulut, bersilat lidah, asal gak kehabisan ludah...betthuuull ?

Ngomong ae males, ndak peduli, ndak mau mikirr, toh bukan urusanmu, ya kaaan ?
[ Gondrong mendelik sampai biji matanya seperti bulat purnama, terkesan marah tapi tertahan ]

Buat apa dilerai, kan masih pakai aturan, ndak perlu ada sandal melayang kan, belum ada yang gebrak meja, kenapa harus pusing.
Ndrong, Nang, sebenarnya kalian itu mau ngobrol, debat atau uji-pinter ngomong ?

Biasanya kan kamu terus nimbrung nambahi, mbenerno, mbagi pengetahuan, apa sudah males minterno wong sing ndak pinter kayak aku sama Nanang ?

Heleh, yang bilang dirimu ndak pinter itu sapa Ndrong, seingat aku, ndak pernah aku ngomong begitu...

Memang betul, tapi sing mangan sekolahan lak awake peno(=kamu).

Waduh, kalo aku makan sekolah, lak mati Ndrong, gigi sudah rontok semua...

Wuahahahaha, persis tji !, itu artinya kamu kesurupaaan...waduh, jangan..kamu ndak kemasukan setan aja, sudah makan macam-macam, apalagi kalo kesurupan... apalagi sekarang sudah banyak orang yang begitu...

Loh, kan tadi kamu bilang aku makan sekolah...

Yo..yo..salah ngomong aku, endak, maksudku, kamu kan sekolah lebih tinggi dari kita-kita ini.

jadilah marmotji terbahak-bahak, bahwa istilah 'makan sekolah' sudah sangat terkesan menghina, tapi begitulah kehidupan...

Sudahlah, kalian teruskan bertengkar urusan rasa teh dan rasa sabun, berdebat belum tuntas kog sudah nyerah, itu kan bukan watak umumnya kita. Biasalah 'ngeyel' sampai titik ludah terakhir...hahahahaha.

Apa memang kita biasa ngeyel, menurutmu gitu juga, Nang ?

Waduh Ndrong, apa caraku ngomong perkara teh, sudah bisa dibilang 'ngeyel' ?

Lhah, menurutmu apa tadi caraku njawab juga 'ngeyel' ?

sudah bisa ditebak, marmotji tambah terpingkal-pingkal. dua sahabatnya bertanya-tanya masalah 'ngeyel'-tidaknya urusan teh tersebut.

Hoi, kog malah bingung 'ngeyel' atau tidaknya..bukan mencoba cari benarnya bagaimana perkara minuman teh segelas tadi ?

Lhah, aku merasa teh-nya Gondrong akhir-akhir ini sudah bukan teh, cuman air berwarna coklat dengan sedikit rasa manis. Apa ya pantes disebut teh ?. Kadang-kadang Gondrong nyuci gelas juga endak bersih, mosok bibir gelas, masih tertinggal rasa sabun. Kan orang minum disini ora gratisan, mesti bayar, kan kasian.

Bagaimana Ndrong, menurutmu ?

Oh...gitu. Mosok teh jualan-ku ndak rasa teh ? ah mungkin Nanang aja yang habis minum enak, trus minum teh-ku, ya jelas, rasane kurang.

Ah, endak Ndrong, coba aja tanya anak-anak lainnya...mereka sungkan, kalah-tuwo(=kalah usia) cak.

Ah yo salah'e dhewe...kenapa ndak berani ngomong...

Mau ngomong bagaimana, kalau jawabanmu tadi kayak gitu, pada teman saja kalimatmu tajam, apalagi ke anak-anak itu...

Lhaaa...Kalau awakmu, aku njawab halus, ya tambah seneng kamu, dapat ganti gelas, wong ngebon terus.
Heeeh..Tji...kog malah mesam-mesem(=senyum simpul) aja. Bunyi kenapa..

Hehehe...aku harus bicara gimana ?

Wooh..Dasar wong sekolah kedhuwuren, yo ngene iki, ndak gelem bagi-ilmu blaasss..yo pantes rakyat'e negoro iki guuuubbblllloook puooolll, sing pinter-pinter koyok marmotji ae, njaluk disumpel dhuwik sak-prahoto(=truk).

Ndrrrooong, gak bisa sampean berpikir begitu. Wong pinter-pinter, kan akeh pengetahuan mestinya hati-hati mau ngomong sesuatu, sehingga kadang, saking uaakeeh pengetahuan'e sampai-sampai ndak weruh maneh sing endi sing perlu diterangno.

Walah-walah, sampean berdua ini sudah nyimpang jadi prasangka buruk. Ada buktinya endak ? Jangan biasakan diri berpikir macam itu. Ndak ada untungnya.

Halah, sampean coba ndelok tivi, ndengarkan radio, baca koran, apa ada orang pinter-pinter kita kalo nerangkan sesuatu itu dengan jelas, sehingga kita-kita yang ndak pernah bisa baca atau beli buku-buku mahal itu, jawaban'e akeh mbulet, pamer kalo pinter. Ndak bisa kah ngomong dengan bahasa sederhana, kan kita-kita ini satu bangsa...bahasa-ne yo tetep podho(=sama)

[marmotji terdiam, sedih. Omelan Gondrong benar-benar adalah benar. Karena omelan dia itu sebenarnya bukti bahwa bangsa ini sudah keropos; yang pandai sudah tak bisa lagi tahu cara berbagi ilmu. marmotji tak bisa mengelak prasangka Gondrong, karena dia sendiri sangat sering mengalami, berhadapan dengan orang-orang pandai yang sangat sulit berbagi pengetahuan; dengan alasan sulit dahulu sekolahnya]

Yo weesss...apa seh yang ingin dilihat dari masalah segelas teh tak berasa teh ini ?
Aku ndak ingin dan merasa tidak perlu nyalahno Gondrong, karena Gondrong belum tahu sehingga belum merasa perlu untuk menguji tehnya sebelum disajikan.
Gondrong belum kenal yang namanya kualitas.

Koseeeek(=sebentar)...kog tambah nggoblokno awakku rek...Kuali Genthong aku weruh(=tahu) nek kualitas ndak weruh yooo...apa itu artinya kuali dari bahan tas ? aaataaauu..tas yang bisa jadi kuali, wow keereeen...hihihi..bahasa susah, bahasane wong kepinteren nyundhul, sampek lali bangsane...

Sabaar Ndroong...jangan buru-buru ngomong aneh-anehlah.
Begitu juga Nanang, belum tahu cara yang benar menyampaikan kritik dan saran. Wajarlah, kalau kalimatnya asal-asalan bunyi.

Jadi seharusnyalah kita-kita ini sudah sebaiknya memahami kualitas. Bukan saja kualitas teh yang dibuat Gondrong. Tapi juga kualitas makanan, kualitas ngomong atau ngobrol, kualitas kendaraan, kualitas bacaan...[marmotji diam, ngempet mangkel masa lalunya]

Termasuk kualitas ngajarnya para guru ya thooo..anakku sampe sekarang kelas tiga, masih belum bisa ngitung sampe seratus...Ngono(=begitu) sing disalahkan muridnya, digoblok-goblokkan, murid goblok kan hasil dari guru yang goblok kan, Tji...
[waduh, Nanang nyerocos jengkel, baru kali ini marmotji melihat dia bersungut. Apalagi masalah guru..aduh]

Sabar tho, Naaang, jangan nyimpang ah..
Hobi kog tetep aja, berprasangka buruk.

Loh endak Tji. itu kenyataan. masih untung anakku gak dipukul.

Sudahlah Nang, tenanglah dahulu. Minumlah dulu. Ndrong, kasih minum doong.
Aku teruskan.
Apa yang diomongkan Nanang tadi juga ada benarnya, tapi jangan senang dulu Nang, karena juga ada salahnya.
Sekarang ini kita sudah susah mengerti kualitas, padahal kata yang ini, guuuaaammpaaang sekali dilakukan.
Kualitas itu bisa dijaga kalau kita punya tepo-sliro. coba kalau perilaku itu dikenakan ke diri sendiri.
Sama dengan teh itu tadi, coba sampeyan Ndrong, kalau mbuat teh untuk diminum sendiri, apa ya sama ? Karena sebenarnya siapa pun juga bisa ngitung, seberapa untung sampean dari jualan teh ini.

Apalagi tadi Nanang pakai istilah medhit(=kikir), rasanya pas dipakai. Itu kan sama dengan tuntunan agama, agar tidak mengurangi takaran. Sing diukur adalah rasa tehnya. Wong namanya minuman teh.
Apalagi teh manis, betul ?

Walau di sekolahku, kualitas ini dibahas dengan hitungan, tapi aku jelaskan dengan bahasaku sendiri.
Gini, kualitas mesti ada ukurannya, seberapa banyak tehnya untuk gelas besar, gelas kecil. Berapa sendok untuk gulanya. Kalau buat es teh, harus berapa banyak es batunya, sehingga tidak membuang sampah berupa es, yang ndak terminum sia-sia.
Jadi walau dibuat beribu-ribu gelas teh, rasanya akan sama dari gelas pertama, sampai gelas ke sepuluh ribu misalnya.
Coba bayangkan Ndrong, kamu sehari bisa buat teh berapa banyak ? Ini aja sejam kita ngobrol, dia sudah buat 15 gelas, kalo sehari, 24 jam... sebulan, setahun ?

Nhaaa...berarti cak, nek misalnya anakku ndak bisa ngitung sampe satus waktu kelas tiga, padahal aku dulu sudah bisa waktu kelas dua, berarti kualitas ngajar'e gurune ndak bener ya..
Lha nek gurune anakku aja kayak gitu, apalagi gurune marmotji, apa namanya, dosen ya kan ?

Waduuh..waduuuh...embboooh...Pusiing deeeh...

07 July 2008

Tengku Lak !!!

Bisnis apa yang paling berpotensi besar sukses di tahun depan ?
Peluang seperti apa yang paling bisa dimanfaatkan tanpa bersusah payah ?
Berapa proyeksi pertumbuhan bisnis tahun depan ?
Siapa yang paling bisa memanfaatkan peluang tahun depan ?
Kerjasama kayak apa yang paling efisien di masa mendatang ?

Pasti ada saja yang mempertanyakan kalimat-kalimat seperti itu ?

Yang gak bisa ngerti, cuman bisa komentar ringan, haiyah... tetep aja bisanya nanya begituan...
rentetan kalimat seperti ini nih...
Buktinya ndak ada yang bisa dibilang seneng...
semua ngantri...
semua rebutan...
semua merasa punya kesempatan...

temen pecinta bola pasti hapal kalo peluang itu artinya menang taruhan atau kehilangan duit...
temen penonton bola (belum tentu orpasti hapal kalo antri di stadion pasti menunggu kesempatan masuk...

kejadian mirip, tapi peluang dan kesempatan bisa dimaknakan berbeda...

lhaaaaahh...
mo ngruntuhkan rumah cepet, butuh buruh kasar ? gampang...
mo nguruk ladang, cuman sehari ? gampang...
mo ngabisin truk tengki, sekejap ? gampang...
mo kampanye...butuh berapa gerombol ? gampang...
mo demo..butuh seberapa banyak ? gampang...

mo apalagi, yang banyak-banyak...pokoknya..
satu pikep, satu truk, satu bis, atau puluhan ?
gampang...

berani bayar berapa ?
harga cocok, sesuai kebutuhan, pasti ada pas waktunya...

Ini sebenarnya bisnis apa seh...
kog ukurannya kendaraan..?

tergantung butuhnya apa ?
Gak usah mikir rumit-rumit, semuanya gampang...pada bidang jasa satu ini...

Gak ada yang gak bisa...
Karena lambang dan semboyan mereka pas dan cocok sekali.
mo tahu apa semboyan sekaligus lambangnya ?
Ucap saja PALU GADA. Apa lu minta, Gua Ada...

Ini bisnismen, entrepreneur atau apa seh...
Loh...loh..loh... sampean ndak tahu...
jangan-jangan sudah termasuk manusia layak masuk peti mati...
kog bisa-bisanya ndak tahu...

Dan, ini khas bisnis ketimuran...hanya ada satu penanggungjawab...

Persis kayak Ilmu ular.. pukul kepalanya, badannya pasti lemesss...
Habisin pemimpinnya, anakbuahnya pasti lunglaiii...

Dan bukan hanya semboyan itu saja yang ada...
Tapi juga PALU BUTUNG... Apa lu butuh, tinggal utang...

Penguasa ini sekaligus pengusaha, plus rangkap entrepreneur...
mampu memainkan kepercayaan, kebutuhan dan keterpaksaan, sebuah dominasi unik yang sangat luar biasa bisa dikuasai tanpa sekolah.

Kalau dinegeri ujung republik ini, Acheh, ada Teuku dan Teungku, yang marmotji ndak bener-bener bisa paham berbagai cerita yang bisa gampangkan mengapa beda.

Keduanya pasti punya peran menonjol dibanding kebanyakan, baik Teuku maupun Teungku.
Cuman masalahnya, tengku yang satu ini ndak berasal dari Acheh atau Melayu... akar budaya Indonesia yang harus dihargai dan dipelihara.

Ini budaya rusak yang sedang dan telah digandrungi, karena cukup modal bisa meyakinkan...baik ke pembeli atau penjual.. entah harga murah atau harga mahal, ngomongnya gampang atau sulit ndapetinnya.
Tak perlu cukup kapital, tapi tampang yang cukup sesuai kebutuhan, entah menggertak atau memelas...tinggal pasang ajalah..

yah..ini yang memalukan, bukan gelar kebangsawanan atau gelar yang bisa dihormati, namun dipaksakan agar dibutuhkan...
apa sih...
gak juga ngerti..heran.....kebacuuuttttt...kebangetan tan tan tanaaan...
itu loh..Tengku Lak ! mereka kuat mengikat masyarakat seperti Lak menutup rapat amplop surat. sayangnya kuat tanpa ikatan rumit, cukup satu kata, terdesak atau kepepet !.

Bahkan di media informasi pun ada tengkulak masalah, di masalah penelitian sosial pun ada tengkulak data...

Jadiii...jangan cuman teriak-teriak hapus korupsi..kalau ada temannya saja...perlu curiga tuh.

Malu kan kalau teman teriaknya adalah tengkulak suara teriakan..
HAAAAPUUSSSS KOOORUUUPPPSSSIIII.

14 June 2008

Guru Berdiri, Murid Ternganga ?

Pepatah seperti itu mungkin hanya ada dibenak marmotji, saat mengingat-ingat apa saja yang dibutuhkan saat dulu berangkat sekolah.
Guru adalah satu figur contoh yang begitu kuat diletakkan kultur di dalam lingkungan marmotji.
Contoh yang lain, mungkin saja datang dari orang tua.

Radio, hanya salah satu penanda waktu, acara-acaranya silih berganti setiap jam. Satu keuntungan bila tak ada jam yang menempel di dinding atau melingkar ditangan.
Justru karenanya, jam masih dilihat sebagai barang mewah kelengkapan suatu rumah.

Sebuah kebiasaan yang begitu kuat melekat dalam pikiran tiap orang yang sempat hidup di masa itu.
Tak ada jam, bolehlah radio sebagai penanda waktu. Jadi wajar saja bila ada jam jenis baru, jam karet.

Ya, gimana lagi, tak ada ketepatan menit. Tak ada hitungan mundur, 15 menit, 10 menit sebelum jam itu.

Kultur jam karet bukanlah sesuatu yang memalukan sekali, akhirnya hilang saat begitu banyak bentuk jam yang dijual dengan harga yang terjangkau bertahun kemudian.

Salah satu contoh orangtua yang menandai keberangkatan ke sekolah cukup dari acara RRI, yang memutar piringan hitam menyuarakan paduan suara Padamu Negeri, atau pada hari senin, pasti lagu Tanjung Perak, Tepi Laut..dan seterusnya..dan seterusnya.

Salah satu contoh guru menandai waktu istirahat adalah dari lewatnya iring-iringan sepeda motor polisi yang mulai berpatroli. Deru sepeda motor besar bercat putih, dari kejauhan cukup memberikan tahu beliau, bahwa istirahat dapat dimulai, dan kami berhamburan menuju pagar sekolah, hanya sekedar lambaikan tangan pada para polisi yang cukup ramah membalas dengan senyum gagah mereka.

Yah, begitulah contoh.
seperti pepatah lainnya juga, Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari.
Bisa bayangkan bagaimana bukan ?
Untungnya tak ada pepatah yang gambarkan bagaimana cara para guru berak, lalu sebaiknya bagaimana para murid mengikutinya.
{mosimage}Lalu mampukah anda, memaknai pesan gambar seperti ini ?

Apakah ada hubungan antara jongkok dan duduk saat berak, dengan nilai kecerdasan tertentu, sehingga perlu mengusik nilai kesantuan dengan mengunjukkan kata terimakasih.

Semoga hanya berbeda kebiasaan. Tetapi jika ternyata kebiasaan mampu menjadi pemisah antara batas inferioritas dan superioritas, maka bisakah bapak-ibu guru mencontohkan sebaiknya bagaimana cara santun saat menunjukkan rasa perut yang tak enak ? Apa cukup kata 'kebelet' ?

Pergaulan dalam lingkungan yang berbeda tentu memberikan pelbagai keterkejutan yang bisa menggiring kekaguman atau ketersingkiran. Gegar budaya ? Bisakah kegegaran mampu bikin kecerdasan bergaul, atau terbitkan kebijakan baru ?

Manakah budaya yang lebih baik diadaptasi ?
Jangan-jangan ada beberapa kebiasaan baik dan bagus terlepas begitu saja tanpa pernah ada yang resah. Tak pernah ada yang melakukannya lagi.

Saat tiba sebuah kebiasaan baru datang pun, menjadi sebuah batasan, tak ada lagi yang lebih baik darinya.

Aah...cuman berak aja kog ndak boleh jongkok. Mengapa jamban duduk diberi nama toilet...? Bukankah toilet itu nama ruang kamar mandi...atau sudah berubah makna menjadi ruang peturasan saja ?
Oooh...mengapa ya tak ada buku tatacara mandi, tatacara buang air kecil dan besar. Gak penting ? lalu apalagi yang lebih penting dari cara mengenali sebuah budaya keluarga dari caranya menata ruang mandinya ?

Budaya yang mengajarkan tak boleh berlama-lama dalam kamar mandi, berhadapan dengan budaya yang tak menganggap keliru, bisa melakukan perbincangan saat buang kencing, bahkan mengisi teka-teki silang, baca buku pelajaran saat buang kotoran perut ?

Sekali lagi, budaya apa yang perlu dimaknai dan diteruskan ?

20 May 2008

Reggae Garuda

Hari-hari berciap riuh tak beda sama sekali.
Apa yang beda, barangkali cuman hari sepi dan hari ramai, ya paling sedikit kayak begitulah untuk orang-orang semacam Gondrong, Cecep, Ucok, Sutrisno. Mereka menggelandang ke kota-kota besar selepas banjir menggusur rumah dan tanah warisan di tanah kelahirannya.
Ternyata Gondrong mengingat 20 Mei bukan hari Kebangkitan Nasional, tapi hari panas yang mengirim air bengawan memuncak dan membanjiri desanya berhari-hari, berminggu-minggu, mengirim empat orang keluarga terdekatnya ke sekubangan kuburan massal.

Gondrong hanya tertitik saat ditanya kenapa dia tinggalkan desa, siapa berani kuak luka perih kehilangan pak, emak, mbah dan adik ?


Gondrong hanya bertutur, tak satu pun pamong yang tahu dimana letak timbunan rumah dan sawahnya, dan peroleh jawaban, kalau pun ditemukan, sudah bukan miliknya lagi. Kini menjadi tanah negara, dan bakal tergenang air waduk selamanya.

Gondrong bertutur lagi, saat itu hanya dendam, satu ketika hendak membalas dendam pada keputusan merampas hak milik keluarganya, entah pada siapa pantasnya... Dia merasa tak terayomi, tak terlindungi, tak diperhatikan bahkan ditelantarkan.

Hanya karena merasa hidup masih lebih penting ketimbang bunuh diri, Gondrong bersama Cecep, adiknya semata wayangnya kini, Ucok, dan Sutrisno pilih membawa diri bersama truk pasir, dan menjadi buruh angkutnya.

10 tahun itu, masih perih bagi Gondrong. ya, 20 Mei.

Tak tebersitkan perasaan rindu Gondrong menengok kuburan keluarganya, karena toh, salam cintanya tetap berdenting di hatinya, ya tetap saja, merusak.

Paaaaakkkkk....eeeeeeee
Maaaaaaaakkkk.....

Bagi marmotji, kesedihan Gondrong adalah tamparan berat bangsa ini.
Yang katanya telah bisa memerintah sendiri.
Tapi tak pelak, hanya perilaku pongah seenak udhel...
Makin hari, tak mampu berbicara dengan sesama...hanya terwakili simbol semata

Simbol tegakkan hukum adalah penjara
Simbol pemerataan adalah pajak
Simbol sanksi adalah denda
simbol penegakan peraturan adalah sebatang kayu hitam yang bisa dipukulkan ke kepala atau tubuh...
Hemm....simbol..

Lalu simbol kemajuan adalah...
simbol kemandirian adalah...
Simbol kepercayaandiri adalah titik, titik, titik, dan titik teruuusss...

Masih mending ketika bicara simbol sex bangsa ini, gampang menunjukkannya...
yang penting syahwat dan birahi memuncak. Beres.

Tak perlu manusia bergelar tinggi dan berkalimat rumit untuk memaparkan simbol sex.

Jangan-jangan garuda pun sudah malu jadi simbol pemersatu, karena dirinya tak punya jenis kelamin. Sehingga bangsa ini tak punya jati diri, hendak jadi apa kelak. Karena juga tak punya jenis kelamin.

Sudahlah, jadi reggae garuda yang terangguk-angguk.
Inggih-inggih mboten kepanggih...(diiyakan tapi tak pernah dijalani)


catatan : Reggae Garuda adalah salah satu judul lagu yang sangat menyakitkan bagi siapa pun yang mencintai dan menjunjung tinggi makna kemanusiaan dalam bangsa ini. Lagu ini dirilis oleh sebuah band, bernama Jangan Asem, di kisaran tahun-tahun akhir 80an.
Salut untuk Norman dan Syamsul Umur yang kreatif menyusun syair lagu ini.

14 May 2008

Berkaca ke Air Keruh

marmotji terpaksa putar otak lagi, setelah agak tenang beberapa bulan berusaha membuncitkan perut, simpanan energi selama musim kemarau.

Apalagi kalau bukan urusan logistik makan dan minum.
Gondrong telah bersikap. Bukan urusan utang menahun marmotji, tapi urusan porsi dan harganya.
Jadi, mana mungkin lagi bisa tenang makan dan minum, jika harganya berlipat-lipat...

Alasan Gondrong tentu saja masuk akal, apalagi kalau bukan menyesuaikan dengan harga pasar.
Air mahal, minyak mahal, belum lagi bayaran orang-orang yang jaga sini.

Ya, sudah...ndak perlu dibantahlah. Ngutang ya ngalah... sesuka yang ngasih utang...

Tapi putar otak urusan makanan tidaklah sesulit pertanyaan Gondrong, mengapa semua harga naik bersama-sama....
Mosok njawab begini mesti jadi menteri dulu ?
Buat apa sekolah, kalo ndak bisa njawab.

Duh...jadi inget pak Pandoyo, guru SMA marmotji. Pertanyaan sulit itu kalau pendek kalimatnya, dan sebaliknya pertanyaan mudah itu kalau panjang kalimatnya.
Ya emang sih, pertanyaannya cuman sepotong; mengapa semua harga naik bersama-sama...tapi njawabnya ? harus dipisahkan antara harga barang pabrikan dan harga barang pasar...

Trus harga barang yang bisa dihutang sama harga barang yang harus dibayar tunai...duuuh...
rumit. Males mikirnya.. marmotji takut jadi nyalahkan orang-orang yang bikin keputusan dan akibatkan harga jadi naik.

Byuh...apa yang jadi pertimbangan, begitu mudah saja mengubah tatanan angka seperti mainan anak kecil, diacak-acak lalu ditata, diacak lalu disusun, begituuu..terus.
opo yo, kehidupan manusia itu mainan ? Sementara PenciptaNYA tak pernah sedikit pun mempelesetkan secuil dari Firman-NYA.

Hayoooo....marmotji tantang adu cerdas siapa pun yang berani ngomong bahwa Sang Pencipta pernah merubah firman-NYA, hanya karena mentang-mentang peranNYA tak ada dua.
Kebodohan boleh jadi berubah menjelma kepandaian, keringkasan boleh jadi terubah pada kepiawaian.

Adakah yang berani kocok-otak bahwa demi kemanusiaan, mudah saja berbohong tanpa perlu nalar ? tak perlu bicarakan dosa, cobalah sedikit menjejaki.
Berbohong itu seperti menuliskan kalimat dengan alat tulis yang tak bertinta. Betul gak ?
Mana pernah terbaca setelah dituliskan ? sampai kapan pun, dengan ilmu apa pun, gak akan bisa. Karena itu akan boros tenaga, sebab harus mengingatnya terus bahkan perlu ketelitian pada waktu, pada siapa diungkapkan, adakah orang lain, dan sebagainya dan sebagainya.
Benar-benar menguras tenaga.
Lapar deeh.

butuh makan lagi.
mustinya bisa makan sedikit, karena butuh tenaga, akhirnya harus makan lagi, tambah tenaga untuk mengingat satu bohong, kalau dua bohong, tiga, empat dan ribuan ?
Salah-salah terjadilah busung lapar.

untuk beli makanan butuh uang, maka pendapatan menjadi terasa kurang, padahal seharusnya cukup, karena makanan yang harus dibeli makin banyak.

bahan makanan yang tersedia tidak lagi seperti biasanya cukup, ya karena ingin makan terus.

Persediaan terbatas. Maka si pedagang takut timbul rebutan, salah-salah tokonya lebur hanya karena kejadian berebut makanan.
Supaya terkesan adil, maka harus diundi, tetapi itu terlalu lama jika yang menginginkannya bukan sekedar satu-dua orang.

Paling gampang, yaaa dinaikkan harganya. Beres kan ?

Takut tidak bisa makan, yaaa... makanan yang ditimbun.
Ngeri tak bisa simpan makanan, maka harganya dinaikkan, sehingga banyak yang batalkan rencana belinya.
Karena butuhnya bebarengan sih. yaa...udah..jadinya naiknya bareng-bareng...

beres kan, begitulah simpul marmotji..karena hanya melihat dari sisi makan, makanan dan yang makan.

Coba saja melihat pikiran dari cermin yang lain, cermin yang jualan makanan, yang pengen usaha makanannya jadi gueedee.
Pasti butuh modal, lalu ambil pinjaman.

Karena ada bunga pinjaman, yaaaa harus ada untung... karena keuntungan itu sebagian buat menyenangkan para pemberi pinjaman hingga berbunga-bunga.
Agar mereka suka-ria membiarkan uangnya berada di tangan orang yang tak dikenalnya.
Itulah cermin yang cerah, yang membahagiakan, yang menyenangkan, orang-orang yang berbaju rapi-licin. Pasti cermin yang terang dan jernih, karena semuanya tampak lebih indah dari aslinya.

Karena marmotji tak bisa lihat seperti itu, yaaa..barangkali hanya bisa lihat di sebagian aliran sungai yang panjang. Salah-salah air yang sudah tercemar, keruh sekali.
Masih untung bisa dipakai melihat wajah berdaki, bisa pantulkan wajah lengkap sepintas saja, barangkali sudah menerbitkan bahagia berlipat-lipat.

Yah...kira-kira cerminnya Gondrong, ustadz Farhan, Nanang...yang seperti apa yaa...

27 April 2008

Modal BERBAGI

Adakah yang janggal, selama mendapat ijin Yang Kuasa menghirup seluruh lukisanNYA dengan segala indera ?
Pernahkah terpaksa melawan ketidakbiasaan ?
Pernahkah merasa tak-aneh karena ketidakpedulian ?
Apakah merasakan kelaziman karena ketidaktahuan atau keterpaksaan ?

apa yang paling penting, sejengkal tanah, sebaris nama baik ataukah berderet prestasi ?
catatan siapa dan apa paling abadi ?

Beranikah menyembulkan iman dan keteguhan dien saat nyawa hendak putus-nadi ?
Apa yang harus ditiadakan ?
hah...?!
Saat merasa jadi pejuang, apa yang pantas diperjuangkan ?
Saat merasa jadi penguasa, apa yang pantas dikuasai ?
Sewaktu pantas di pentas kepemimpinan, apa yang dipimpin ?
Seperti halnya merasa pantas jadi guru, dosen, tutor, instruktur, apa yang pantas diajarkan ?

{mosimage}marmotji merasa semuanya diperjudikan bukan diperjualbelikan.
marmotji lihat ada kepantasan memperjualbelikan sesuatu yang layak diperjudikan.
adakah firman dalam Kitabullah, menyebutkan ajakan perjudian. Rasanya hanya disebut tantangan berjual-beli kepadaNYA.
Perjudian memang jauh lebih menguntungkan dari jual-beli.

Tak adakah siswa belajar, selain karena mengejar pernyataan ijazah yang bukan kenyataan pandai.
mana ada kenyataan bodoh, harus dituliskan, tetapi kenyataan pandai, seolah layak saja dituliskan.
mana ada kenyataan jadi pesuruh, harus dicatatkan, tetapi menjadi pemimpin, seolah tinta se-ember harus tercurah.

Mengapa kenyataan berdiri-sendiri harus diingkari, dan memaksakan keharusan bersatu.
Padahal belum tentu yang memaksakan keharusan itu paham makna bersatu.

marmotji sadar, sikap paling abadi adalah sikap kekanakan.
sedari kecil selalu ada simbol
hingga dewasa, malah memuja simbol, bahkan rela menumpahkan darah sesama

saat bersedekah, pernahkah terpikirkan untuk berikan meriam atau senapan mesin pada yang di-sedekahi.
kalau bersedekah, hanya berikan bahan makanan sekedar bertahan hidup, buat apa ?
sedekah, kalau cuman sepotong-dua baju bagus, buat apa ?
berbagi, kalau cuman berikan kesempatan berperan kecil, buat apa ?
kalau para pengemis bisa merampok sebisa mereka, maka kemungkinan mendapat uang lebih dari recehan lebih besar.
Mengapa takut ? jangan-jangan diri sendiri pun pernah merampok walau tanpa senjata-mematikan.
Barangkali kata dan kalimat bahkan goresan pena bisa membunuh, lebih lama proses kematiannya dan jauh lebih menyiksa.
Bukankah justru banyak sekali perampok berkeliaran dengan baju perlente dan mobil mengkilap, dan berlagak bak bagian kaum yang sangat terhormat dan ber-etika tinggi.
Padahal dengan jentikan jemari saja, bisa hilangkan seribu nyawa sekaligus.
Makin berdaya seseorang, makin tinggi kemampuannya sebabkan kematian sesama.
Siapa yang yakini, pengemis mampu merampok sebanyak para ahli korupsi.
Karena mereka terbiasa menghiba daripada pamer wajah bengis.

Beruntunglah orang yang dua tangannya buntung, bahkan juga dua kakinya, sekaligus bisu, tuli dan buta.
Jangan bertanya adakah ?
tapi mampukah bayangkan menjadi orang seperti itu ?
benarkah orang seperti itu justru seolah layak di sedekahi. Bagaimana harus menerima disaat tangannya buntung ?

mengapa seorang presiden, tak sedekah-kan jabatannya barang dua-tiga hari pada pengemis di perempatan jalan ?
mengapa seorang ketua parlemen, tak sedekah-kan kekuatan hukumnya memimpin sidang sekali saja, pada seorang pengamen depot pinggir jalan ?
mengapa seorang professor, tak berikan kesempatan seorang bisu-tuli tunjukkan sebuah grafiti dalam layar presentasinya dalam sebuah pertemuan guru-besar ?
dan
mengapa seorang jenderal tentara, tak berikan tongkat komando-nya pada seorang tukang bakso keliling yang bermandi peluh keliling kampung, agar sekali-saja bisa rasakan betapa lebih-enaknya mengatur bola-bola daging mati dalam kuali panasnya, daripada atur kepala-kepala berhelm yang belum tentu sama antara derak-suara dan tindakan.

sedekah bukanlah sesuatu yang diambil dari onggokan kantong terdalam, tetapi sesuatu yang sangat berharga.
Jabatan bukanlah aurat yang harus dibungkus aman berlapis-lapis.
Kehormatan bukanlah urat kematian.
Keindahan mutiara bukan karena kehalusannya, tetapi kerling-kilapnya.

Bila merasa menjadi seorang peneliti, lalu hanya duduk nanar tatap kumpulan angka, tanpa tahu denyut nadi masyarakatnya, bisakah dibedakan dari seorang penyair, yang butuh tenangkan diri memilah kata dan rima ?

kalau belum bisa bedakan mana sedekah dan berbagi, lebih baik jangan pernah mimpi memimpin barang seorang pun .
Karena hasilnya pasti kejahatan dan kedholiman.
Sedekahkan kehormatan, kepercayaan diri, keteguhan hati, kekuatan bersikap, ketajaman pandang.
Tak ada yang menyesalinya kecuali kebahagiaan.

21 April 2008

Mak Gwa ?

Kekartinian bisa dianggap tercatat sebagai traffic curhat tulisan antara Rosa dan Kartini. Silakan saja, kegelapan yang tampak oleh Kartini, disingkap cahaya ke-eropa-an Rosa. Toh, sama-sama perempuan.
Kalau Kartini terpengaruh, ya manusiawi. Lagipula trinil satu ini, selain adik-adiknya, tidak ada lagi yang dengarkan sambil cari pemecahan cerdasnya.


Bisa jadi Hari Kartini ini dipandang juga Hari Rosa. mau apa ? Rosa kan juga manusia. Emang harus manusia Indonesia yang berjasa ? Wih, jahat amat sih... apa kalau sudah digelari penjajah, tak satu pun tindakannya yang bisa dimaknakan berakhlak ? Kan nama-nama Walandi yang punya jasa bak sisi mata-uang, juga ndak kurang.
Bukti yang jelas-jelas ganjil adalah seorang Daendels. Sampai sekarang pun jalan megah Anyer-Panarukan masih jadi urat-nadi utama. Emangnya sudah ada prestasi bangun jalan panjang yang esensial ? Maaannnaaaa....

Artinya apa ya kalau ini sampai tersilap dari sejarah manusia Indonesia ?

marmotji berani bilang, ada pendidikan yang disengajakan untuk timbulnya manusia Indonesia yang sombong, ultra percaya diri dan ndak bisa lihat tengkuknya sendiri.
ya jelas, marmotji tak ingin mental inlander pun jadi kepangkatan awet, tapi mikir dong, buat apa juga berjalan sombong di tanah air yang setetes pun ndak bisa bikin. Belagu!. Gitu aja rebutan kekuasaan, dan dipamer-pamerkan pake kampanye lagi.
Apalagi kalau ada yang mempermasalahkan kemiskinan. Apa ndak keblinger.

Persis pula kasus siswa peserta UNAS, terus nangis-nangis karena tidak lulus, ketakutan dengan prosedur tidak jelas yang harus ditempuh setelahnya. Padahal tahu aja enggak.

Waduuuuhhh...maaaak...engkau dimaaaanaaaaa....

Ibu yang tenang, tangannya menggenggam ubun-ubun anaknya. adalah tempat mengadu yang teduh.
Ibu yang menyungging senyum ikhlasnya, meremas hati anaknya yang sudah terlanjur terpikat cinta gadis pujaannya.

Emangnya orang-orang penting itu gak punya ibu, sehingga berani bertindak kejam pada ibu-ibu yang hanya punya susu dari payudaranya untuk anaknya ?

Apa para siswa yang ketakutan UNAS, sekaligus para guru yang kebingungan kalau prestasi anak-didiknya berimbas jelek pada karirnya, gak mikir, karir seorang ibu justru bertaruh nyawa ? baru UNAS aja yang gak pake pembunuhan sudah melolong-lolong ndak karuan.

Kalo ada perkosaan, apa harus ada pria-wanita ? jangan-jangan enggak
Apa lagi kalo ada lokalisasi. Itu orang atau sapi disana ? perempuan perkasa yang harus diperas habis oleh lenguhan nafsu puas 10-15 laki-laki ?
Kog ya ada orang yang tenang-tenang aja makan duit itu ? Waraskah bila uang itu disuapkan ke anaknya yang juga lahir dari makhluk sejenis dengan perahannya ?

marmotji bertanya-tanya, jangan-jangan ada kaum ibu yang dirubah menjadi laki-laki.
Sehingga tak lagi sayang pada oroknya.
Sehingga bisa jadi rentenir moral bagi masyarakatnya.
Dan menggadaikan kemaluannya atas nama kemajuan ?

Musti jadi sticker dijidat.
Kartini hanya simbol.
Kartini hanya nama.
Tapi jasad, bentuk keperempuanannya adalah pembelajaran Dari Yang Maha Membagi Rejeki.
Dan rejeki itu kebetulan bernama Kartini.
Jadi ndak ada hubungannya dengan pakaian-pakaian adat yang dilombakan tiap hari Kartini.
marmotji malah pengen nonton lomba bikini, lomba pamer kemaluan dengan peserta anak-anak TK sampe mahasiswa.
Biar mereka ndak malu lagi mengemis, walau menjual harga diri terdalamnya nantinya saat dewasa.

marmotji berani bertaruh dengan nyawa.
Kemiskinan.
Kebodohan.
Kemelaratan moral.
Kenistaan masa depan.
semua itu akibat pindah-tempatnya otak belajar manusia-manusia Indonesia ke dengkulnya...
Jadi otak dipake ngesot...

sudah kaya, ngaku miskin.
sudah punya bini, masih cari yang lain.
sudah jadi khalifah, malah napsu rebutan pangkat.
orang-orang dungu macam begini ini, harus belajar sunat lagi !!!!
mirip pepatah, anak dipangkuan dibuang, anak beruk disusui. Tak punya harga diri.

marmotji ndak sanggup mencaci-maki mereka lebih buruk lagi, saking tidak pantasnya mereka dilihat punya dahi diatas mata.

Maaaaaaaakkk....aku harus kemana mencarimuu....
Aku mau nangiisssss....
minta maaaeeemmm....engkau yang menyuap dengan senyum terindahmu...
mana cintamu, mana sayangmu...
semuanya telah merebut sekolah akhlak abadimu...

Maaaak...panggillah namaku...
Darimu. aku lahir...
cintaku, semuanya milikmu...

Maaaaaaaaaakkkkk......ampuni akuuuuu.....

14 April 2008

Kebetulan

Perubahan. Siapa yang biasa melawan ? Hayooo...
Kenapa mesti sembunyikan wajah. Nongol dong.
Biasa mimpikan tak ada perubahan ke arah lebih baik, melawan kog malu-malu.

Coba dong. Biasa bagikan ide, ya berani nongol. Mengapa mesti takut.
Kan perubahan adalah kenyataan tak terhindarkan. Kog takut ngaku.
Haruusss...punya kekuatan melawan.
Dan melawan perubahan itu berarti punya kekuatan. Kog jadi gitu, enggan mengaku.

Banyak loh, yang ndak ingin ada perubahan.
Ndak pengen keadaan berubah, ya tetep-tetep aja.
Ndak mimpi ada suasana yang lega, teteep aja.
Wong biasanya begini, harus diubah begitu..itu kan ndak bener.
Banyak yang dah beken ma yang biasanya dilakukan, gak usah diubahlah.
Biasanya yang pengen diubah itu yang gak kebagian.

Lagi pula ngapain sih susah-susah ngerubah...? Kog ribet banget...
Ntar kalo perubahan dijalanin, terus banyak yang ndak setuju, baru tahu rasa, nyesel lagi, trus dibalikin lagi, dah kepalang tanggung.
Udahlah. Ndak usah mikir yang susah-susah.

Mikir perubahan itu bener-bener boros tenaga.
Gak usahlah, kenceng-kenceng. Gitu kan ?

Mangkanyaa... kalo ndak pengen ada perubahan itu, jangan sembunyi.
Kan pasti banyak yang setuju.

Yang penting, ada makan, ada baju, dan ada rumah. Ya udah. Tiga-tiganya aja dipikirin. Sampe yang paling mewah.
Yang lama-lama dibagiin. Sumbangan makanan yang dah bosen. Sumbangan baju bekas. Ndak usah aneh-aneh mikir perubahan kan ?

Ini pasti setuju, bukan ? Perubahan harus dilawan.
Masih muda senang-senang. Ada yang ditaksir, ya diajak pacaran.
Sukur-sukur mau diajak kawin.
Punya anak, punya cucu.
Mati tenang. Beres.
Kog pake mimpi perubahan.

Tapi, marmotji mikir, jangan-jangan yang nglawan perubahan ini kebetulan lupa. Dia lupa...makin tua dan mati juga perubahan. Kenapa ndak mikir, hidup aja 2000 tahun...?

Yah...kebetulan khilaf dan males minta maaf.
Bersama kita bisa...bisa dungu !
Kebetulan Tuhan emang gak diajak kenduri. Yah kebetulan sih.

12 March 2008

Bahasa, Cerminnya Sapa ?

Buruk muka cermin dibelah. Lidah buruk, kepala siapa mau dibelah ?

Bosan berkali-kali bicarakan cita-cita ingin maju. Karena kalau dibanding kalangan pemuka negeri di 1928 atau 1928. Ndak peduli mo dokter, ekonomi, filsafat atau apa.

Ini bicara kemanusiaan bukan bicara pekerjaan. Kalau singgung profesi, barangkali harus mikir, apa masih punya urat-malu nyambung atau endak.

Makna manusia hadir di tiap jengkal bumi ciptaanNYA adalah menanggung beban kekhalifahan. Entah di bawah tritis toko, entah dibawah kolong beton beralas kasur, bisa ngorok atau enggak.
Malu mustinya bicarakan pangkat. Waktu lahir procot, ndak pake lambang metalik atau melati.
Toh kalau kena banjir, tetep aja bilangnya tooollooonnggg.....
Ndak ada manusia yang menghadapi bahaya, trus bilang makasih..makasih...baru kali ini loh, saya dapat pengalaman bahaya...

Ada beberapa orang yang marmotji pikir adalah orang-orang cari sensasi, bilang 2008 adalah 100 tahun kebangkitan bangsa. okelah kalau cuman ngomong tanpa efek. Ternyata efeknya sudah milyaran dibelanjakan untuk promosi pariwisata. Hasilnya apa ? perasaan marmotji, orang-orang ini sekolah juga mbayar pake uang, bukan nglempar pisang atau telor ke gurunya. Kog bisanya cuman segitu...

marmotji mikir, keterandalan diri sekarang dengan kekuntetannya, mestinya malu bilang kebangkitan ke seratus, karena ternyata kalau dihitung-hitung berapa kata sih yang dikuasai tiap orang Indonesia dengan benar berikut makna, tafsir dan artinya ?

Hayo rek...ituuuungg... kalian itu bisa bahasa Indonesia berapa kata ? kalau kalian sudah lulus SMU, lulus sarjana, jadi penggedhe, jadi boss... bisa mimpin pertemuan senyaman apa ? sejelas apa ?

Bahasamu keluar pake mulut atau pakai mata, pakai bibir, pakai pinggul, pake bokong ? hah...?

Buat apa jadi sarjana kalo ternyata nulis saja ndak lebih baik dari anak SD bikin cerita berlibur ke desa embahnya yang embuh ndak pernah ngerti dimana letaknya dipeta.
Apa lagi jadi master, doktor yang ternyata menjelaskan pendapatnya secara lisan saja, masih pake kata sengau...ngng..ngng...ngng...
Orang sekolahan apa lalat ? kog masih pake kata sengau...mendengung.... apa memang lebih pantas jadi lalat bertitel doktor ?.

Kalo gitu ngapain boros tenaga hanya buat sekolah...kalau cuman bisa ngngngngngngngng..thoookkkk...mau jadi denbei ? Telaaat...ini sudah bukan jaman kiblik lagi !!!
Jadi tuan ndoro ambtenaaren...sudah telaat...
Tapi mau jadi si kumbang hitam pembela kebenaran, BERUBAH !!! apalagi...
telaaaat...

Negeri ini butuh orang-orang bergelar doktor bukan sekedar jadi saingan para penyiar berita, tapi menjadi tukang bedah kemajuan dan memajukan bangsanya. Standar kebisaannya adalah menulis, menulis...

Apa malah corat-coret doang bisanya ?
Keberanian bersilang pendapat ? jangan-jangan malah kalah sama siswa SD, abis musuhan akur lagi. kalah waras dong.
Ujung-ujungnya ngomong pangkat, bersudut kecanggihan koneksi. Atau cari kesangaran social networking ? Nggggooonddddhooooq ni yeee...

Kalo saja orang-orang begini diteleportasi ke jaman 1908 dan 1928, kira-kira jadi tukang keplok dan koor 'setujuuuuu' apa ya layak ?

Mari kita tilik setelah menghitung jumlah kata yang dikuasai dengan benar dan cepat terekspresikan.

Coba hitung, berapa banyak pikiran-pikiran anda yang sempat pindah kedalam tulisan ? Boooleeeeh, idolakan Sukarno, kalo kakek anda nasionalis. Tapi ingat, dia jago pidato, tapi juga jago baca, jago keluyuran perpustakaan, dan tulisan-tulisannya bagus. Ndak pernah baca ? Salah sendiri miskin akses, masih untung punya malu belum pernah baca tulisan Sukarno.

Ada yang idolakan Hatta, yang sosialis ? boleh. Berapa banyak manuskrip Hatta yang terbaca ?

Jangan-jangan idola anda adalah Sengkuni, yang hobinya bikin celaka Pandawa. weeeessssss....

Coba trace ke masa lampau, berapa banyak tokoh pergerakan yang buta huruf, dan ndak bisa nulis ?
Apa juga hatinya buta ? Cuman bibirnya thok yang cengar-cengir kayak bibir penyanyi kurang gincu...hah

Pembawa kemajuan adalah pemilik pemikiran visioner. Lhah kalau pemikirannya tak pernah ditulis, bagaimana hendak mengajak kemajuan.

Pendidikan yang maju, terjejaki dari banyaknya tulisan-tulisan bermutu. Kualitas hanya dapat diperoleh jika ada persaingan yang jujur dan terbuka.
Lhah kalo nggondhokan, maju dapat darimana...dari gigi tongos...trus bunyi..ting..

marmotji berani katakan, seratus tahun yang lalu jauh lebih maju dari sekarang. Dari sisi manapun.
Dari sisi penguasaan bahasa, jagoan-jagoan pergerakan itu minim kuasai tiga bahasa. Cari sendiri datanya. Sudah jelas bacaannya berkualitas.

Dari sisi jumlah buku yang dibaca, secara statistik pasti lebih banyak, hitung saja, Soekarno pada saat ditahan di Sukamiskin, sehari satu buku. HAMKA malah mberesin tafsir AL AZHAR dalam waktu 3 tahun ditahanan. Hatta sehari bisa menjalin 6 buku. Natsir bisa buka buku sekaligus 9 buah, Agoes Salim apalagi...dengan ketrampilannya lebih dari 10 bahasa.

Mereka bergelar doktor honoris causa !!! gak pake kuliah !!!

marmotji tidak berniat mencaci siapa pun doktor itu, tapi tolonglah jadi lokomotif independen. Sudah resiko saat mengambil gelar itu. Malu ah sama tukang becak, yang berani mahal menelan resikonya.

Bahasa adalah kunci kemajuan. Coba periksa, berapa banyak kosa kata sehari-hari yang cepat berpindah ke bahasa asing, Inggris misalnya.
Sadar gak seh... Awas kalo ma-mik(males mikir)

Dalam ilmu sains, ada epistemologi, ada pula ontologi...husss..jangan ngomong ontoseno...itu laeen...

Sadar gak sih, setiap hari kalo berinternet itu, ilmu statistik bergantung mati sama dua hal itu ? Kalo lagi googling, kalo lagi cari-cari...kog enak langsung nemu...?
Apa setan yang nyari ? Apa jin ?
Pikir dong...
Itu adalah sinergi ilmu statistik dengan epistemologi bersama ontologi.

Kecermatan berbahasa, berguna jelaskan pemikiran-pemikiran dengan seksama, agar tidak ada kesalahan pemaknaan.

Pernah coba jelaskan sesuatu dan uji lagi berapa kekeliruan yang terjadi setelahnya ?
Tolong dong gelisah !!!

Kesalahan pendidikan sudah jelas selama ini, karena bahasa yang sesungguhnya dimanfaatkan untuk berkomunikasi sudah makin kerdil menjadi sekadar bahasa wakil, cerminan kebutuhan ragawi, berupa uang semata.

Ya pantas saja, keinginan meneliti hanya sebatas pesanan, bukan karena rasa ingin tahu.

[.....
Pergi ke sekolah menuntut ilmu.
Ngantri nyogok agar terhormat karena almamater
Bukan karena bakal bisa peroleh kesempatan berbakti...
Ya pantas, pengetahuan ber Tuhan pun cuman hafalan...!!!!
'MALU' sudah masuk wc !!! gabung bareng kotoran perut.
.....]

Karena meneliti pun butuh kekayaan pikir, dan mana mungkin maju, karena sumber pengetahuannya adalah berbahasa asing.

Mau diterjemahkan ? Bisa apa bahasa nasional kita ? Wong yang punya gelaran paling tinggi saja, bingung kursus bahasa asing.

marmotji jamin tidak bakal bisa mahir, mengapa ? karena penguasaan bahasa-ibu mereka miskin sekali. dan marmotji bersikap demikian berdasar pengalaman dan pengetahuan.
Indonesia hanya punya kembaran satu, yaitu Thailand. Tapi sayangnya sekali lagi tak mampu manfaatkan kesempatan politik di masa lalu. Kini pengembangan teknologi Thailand pun bertaraf jauh dari Indonesia.

Satu-satunya cara adalah banyak-banyak menulis, berinteraksi, berani bersilang-pendapat, bukan berdebat !!!.
Perkaya bahasa Indonesia !
Kemampuan memaknai adalah kursus termanjur. Percayalah.
Sangatlah berarti perkaya makna guna kemajuan ilmu yang ditekuni kini.

Mari berkaca pada buku, jangan cari cermin.
Karena buku dibelah pun, tetap ada tulisannya.

Sumpahin Pemuda...
Berbangsa satu, bangsane pengecut...
Bernusa satu, nusa kambangan...
Berbahasa satu, bahasa pasaran...

Ndak usah ngomong nasionalisme, atau kebanggaan.
Ikat dulu perut pake batu, baru kacak pinggang yang bener. Awas celana mlorot !!!

20 January 2008

belajar MARAH

Sesaat marmotji ternganga..bukan karena melihat ujung paha mulus tersingkap..tapi sejenis itu barangkali.
Melihat upaya memancing sahwat diumbar sekenanya...

melihat derik pintu besar diayun-ayun, ditarik-tarik, lontaran kata-kata tak sopan terpapar begitu kencang menerpa telinga...

air liur menetes pun tak terasa, mendengar betapa alasan kemarahan itu hanyalah sebuah isu krisis energi...

mengapa harus marah ? mengapa harus gedor-gedor, dan mengapa pula harus merasa terpengaruh.
Ndak bisa beli, ya udah, ndak usah beli, kog merepotkan diri banget sih...bukan sok acuh seh, tapi ini kepasrahan yang diperlukan.

Marahlah pada kesendirian aja...

kenapa tidak jengah pada kebodohan diri sendiri, sehingga marah membabi-buta belajar kesana-kemari ?

kenapa tidak sebel pada ketidakmampuan diri sendiri mencari pemecahan masalah yang mendadak timbul di depan ?

kenapa juga harus marah pada orang lain yang mengumbar aurat di depan diri, sementara ternyata aurat tubuh sendiri sudah terpasang tinggi di baliho, di banyak pinggiran jalan ?

Belajar Marahlah pada diri sendiri
Lecutlah diri sendiri untuk mampu kalah..
Jangan pernah mengalah pada diri sendiri...
Masa depan sendiri bukan masa depan sekumpulan manusia marah...
Belajarlah marah...Marahlah pada belajar...sudahkah benar caranya.
Sehingga tahu kapan marahnya..bukan asal marah-marah pada hasilnya..

Disaat marah, aurat terpampang...
caci-maki aurat terpajang...
Disaat marah, pajangan aurat harganya mahal tapi nista...

Belajarlah Marah yang Benar ! marah tak pernah jadi haq !

Mata merah saat marah, tanda nyalang kepengecutan
Napas ngos-ngosan menahan marah, sebenarnya hanya luapan ketakutan tak bisa marah lagi.

Marah pada apa pun, tak berarti apa-apa, kecuali memang sudah tak berharga

Marah adalah puncak kepasrahan yang tetap tegak di tempat berdiri
tapi marah bukanlah sebuah peperangan
cuman sekadar letupan magma dipermukaan pantat

Maka marahlah... jika marah ada sebuah sentakan
tapi marahlah..bila ternyata tak bisa menghentak kebenaran jadi kebenaran

Malulah jika tak bisa marah.. dan belajarlah jadi marah...
tanpa marah, tak ada pembelajaran yang berhasil
Hanya marah yang belajar-lah, yang bakal dapat hasilnya.

maka, marahlah...dengan benar. Sesaat marmotji ternganga..bukan karena melihat ujung paha mulus tersingkap..tapi sejenis itu barangkali.
Melihat upaya memancing sahwat diumbar sekenanya...

melihat derik pintu besar diayun-ayun, ditarik-tarik, lontaran kata-kata tak sopan terpapar begitu kencang menerpa telinga...

air liur menetes pun tak terasa, mendengar betapa alasan kemarahan itu hanyalah sebuah isu krisis energi...

mengapa harus marah ? mengapa harus gedor-gedor, dan mengapa pula harus merasa terpengaruh.
Ndak bisa beli, ya udah, ndak usah beli, kog merepotkan diri banget sih...bukan sok acuh seh, tapi ini kepasrahan yang diperlukan.

Marahlah pada kesendirian aja...

kenapa tidak jengah pada kebodohan diri sendiri, sehingga marah membabi-buta belajar kesana-kemari ?

kenapa tidak sebel pada ketidakmampuan diri sendiri mencari pemecahan masalah yang mendadak timbul di depan ?

kenapa juga harus marah pada orang lain yang mengumbar aurat di depan diri, sementara ternyata aurat tubuh sendiri sudah terpasang tinggi di baliho, di banyak pinggiran jalan ?

Belajar Marahlah pada diri sendiri
Lecutlah diri sendiri untuk mampu kalah..
Jangan pernah mengalah pada diri sendiri...
Masa depan sendiri bukan masa depan sekumpulan manusia marah...
Belajarlah marah...Marahlah pada belajar...sudahkah benar caranya.
Sehingga tahu kapan marahnya..bukan asal marah-marah pada hasilnya..

Disaat marah, aurat terpampang...
caci-maki aurat terpajang...
Disaat marah, pajangan aurat harganya mahal tapi nista...

Belajarlah Marah yang Benar ! marah tak pernah jadi haq !

Mata merah saat marah, tanda nyalang kepengecutan
Napas ngos-ngosan menahan marah, sebenarnya hanya luapan ketakutan tak bisa marah lagi.

Marah pada apa pun, tak berarti apa-apa, kecuali memang sudah tak berharga

Marah adalah puncak kepasrahan yang tetap tegak di tempat berdiri
tapi marah bukanlah sebuah peperangan
cuman sekadar letupan magma dipermukaan pantat

Maka marahlah... jika marah ada sebuah sentakan
tapi marahlah..bila ternyata tak bisa menghentak kebenaran jadi kebenaran

Malulah jika tak bisa marah.. dan belajarlah jadi marah...
tanpa marah, tak ada pembelajaran yang berhasil
Hanya marah yang belajar-lah, yang bakal dapat hasilnya.

maka, marahlah...dengan benar. Sesaat marmotji ternganga..bukan karena melihat ujung paha mulus tersingkap..tapi sejenis itu barangkali.
Melihat upaya memancing sahwat diumbar sekenanya...

melihat derik pintu besar diayun-ayun, ditarik-tarik, lontaran kata-kata tak sopan terpapar begitu kencang menerpa telinga...

air liur menetes pun tak terasa, mendengar betapa alasan kemarahan itu hanyalah sebuah isu krisis energi...

mengapa harus marah ? mengapa harus gedor-gedor, dan mengapa pula harus merasa terpengaruh.
Ndak bisa beli, ya udah, ndak usah beli, kog merepotkan diri banget sih...bukan sok acuh seh, tapi ini kepasrahan yang diperlukan.

Marahlah pada kesendirian aja...

kenapa tidak jengah pada kebodohan diri sendiri, sehingga marah membabi-buta belajar kesana-kemari ?

kenapa tidak sebel pada ketidakmampuan diri sendiri mencari pemecahan masalah yang mendadak timbul di depan ?

kenapa juga harus marah pada orang lain yang mengumbar aurat di depan diri, sementara ternyata aurat tubuh sendiri sudah terpasang tinggi di baliho, di banyak pinggiran jalan ?

Belajar Marahlah pada diri sendiri
Lecutlah diri sendiri untuk mampu kalah..
Jangan pernah mengalah pada diri sendiri...
Masa depan sendiri bukan masa depan sekumpulan manusia marah...
Belajarlah marah...Marahlah pada belajar...sudahkah benar caranya.
Sehingga tahu kapan marahnya..bukan asal marah-marah pada hasilnya..

Disaat marah, aurat terpampang...
caci-maki aurat terpajang...
Disaat marah, pajangan aurat harganya mahal tapi nista...

Belajarlah Marah yang Benar ! marah tak pernah jadi haq !

Mata merah saat marah, tanda nyalang kepengecutan
Napas ngos-ngosan menahan marah, sebenarnya hanya luapan ketakutan tak bisa marah lagi.

Marah pada apa pun, tak berarti apa-apa, kecuali memang sudah tak berharga

Marah adalah puncak kepasrahan yang tetap tegak di tempat berdiri
tapi marah bukanlah sebuah peperangan
cuman sekadar letupan magma dipermukaan pantat

Maka marahlah... jika marah ada sebuah sentakan
tapi marahlah..bila ternyata tak bisa menghentak kebenaran jadi kebenaran

Malulah jika tak bisa marah.. dan belajarlah jadi marah...
tanpa marah, tak ada pembelajaran yang berhasil
Hanya marah yang belajar-lah, yang bakal dapat hasilnya.

maka, marahlah...dengan benar. Sesaat marmotji ternganga..bukan karena melihat ujung paha mulus tersingkap..tapi sejenis itu barangkali.
Melihat upaya memancing sahwat diumbar sekenanya...

melihat derik pintu besar diayun-ayun, ditarik-tarik, lontaran kata-kata tak sopan terpapar begitu kencang menerpa telinga...

air liur menetes pun tak terasa, mendengar betapa alasan kemarahan itu hanyalah sebuah isu krisis energi...

mengapa harus marah ? mengapa harus gedor-gedor, dan mengapa pula harus merasa terpengaruh.
Ndak bisa beli, ya udah, ndak usah beli, kog merepotkan diri banget sih...bukan sok acuh seh, tapi ini kepasrahan yang diperlukan.

Marahlah pada kesendirian aja...

kenapa tidak jengah pada kebodohan diri sendiri, sehingga marah membabi-buta belajar kesana-kemari ?

kenapa tidak sebel pada ketidakmampuan diri sendiri mencari pemecahan masalah yang mendadak timbul di depan ?

kenapa juga harus marah pada orang lain yang mengumbar aurat di depan diri, sementara ternyata aurat tubuh sendiri sudah terpasang tinggi di baliho, di banyak pinggiran jalan ?

Belajar Marahlah pada diri sendiri
Lecutlah diri sendiri untuk mampu kalah..
Jangan pernah mengalah pada diri sendiri...
Masa depan sendiri bukan masa depan sekumpulan manusia marah...
Belajarlah marah...Marahlah pada belajar...sudahkah benar caranya.
Sehingga tahu kapan marahnya..bukan asal marah-marah pada hasilnya..

Disaat marah, aurat terpampang...
caci-maki aurat terpajang...
Disaat marah, pajangan aurat harganya mahal tapi nista...

Belajarlah Marah yang Benar ! marah tak pernah jadi haq !

Mata merah saat marah, tanda nyalang kepengecutan
Napas ngos-ngosan menahan marah, sebenarnya hanya luapan ketakutan tak bisa marah lagi.

Marah pada apa pun, tak berarti apa-apa, kecuali memang sudah tak berharga

Marah adalah puncak kepasrahan yang tetap tegak di tempat berdiri
tapi marah bukanlah sebuah peperangan
cuman sekadar letupan magma dipermukaan pantat

Maka marahlah... jika marah ada sebuah sentakan
tapi marahlah..bila ternyata tak bisa menghentak kebenaran jadi kebenaran

Malulah jika tak bisa marah.. dan belajarlah jadi marah...
tanpa marah, tak ada pembelajaran yang berhasil
Hanya marah yang belajar-lah, yang bakal dapat hasilnya.

maka, marahlah...dengan benar. Sesaat marmotji ternganga..bukan karena melihat ujung paha mulus tersingkap..tapi sejenis itu barangkali.
Melihat upaya memancing sahwat diumbar sekenanya...

melihat derik pintu besar diayun-ayun, ditarik-tarik, lontaran kata-kata tak sopan terpapar begitu kencang menerpa telinga...

air liur menetes pun tak terasa, mendengar betapa alasan kemarahan itu hanyalah sebuah isu krisis energi...

mengapa harus marah ? mengapa harus gedor-gedor, dan mengapa pula harus merasa terpengaruh.
Ndak bisa beli, ya udah, ndak usah beli, kog merepotkan diri banget sih...bukan sok acuh seh, tapi ini kepasrahan yang diperlukan.

Marahlah pada kesendirian aja...

kenapa tidak jengah pada kebodohan diri sendiri, sehingga marah membabi-buta belajar kesana-kemari ?

kenapa tidak sebel pada ketidakmampuan diri sendiri mencari pemecahan masalah yang mendadak timbul di depan ?

kenapa juga harus marah pada orang lain yang mengumbar aurat di depan diri, sementara ternyata aurat tubuh sendiri sudah terpasang tinggi di baliho, di banyak pinggiran jalan ?

Belajar Marahlah pada diri sendiri
Lecutlah diri sendiri untuk mampu kalah..
Jangan pernah mengalah pada diri sendiri...
Masa depan sendiri bukan masa depan sekumpulan manusia marah...
Belajarlah marah...Marahlah pada belajar...sudahkah benar caranya.
Sehingga tahu kapan marahnya..bukan asal marah-marah pada hasilnya..

Disaat marah, aurat terpampang...
caci-maki aurat terpajang...
Disaat marah, pajangan aurat harganya mahal tapi nista...

Belajarlah Marah yang Benar ! marah tak pernah jadi haq !

Mata merah saat marah, tanda nyalang kepengecutan
Napas ngos-ngosan menahan marah, sebenarnya hanya luapan ketakutan tak bisa marah lagi.

Marah pada apa pun, tak berarti apa-apa, kecuali memang sudah tak berharga

Marah adalah puncak kepasrahan yang tetap tegak di tempat berdiri
tapi marah bukanlah sebuah peperangan
cuman sekadar letupan magma dipermukaan pantat

Maka marahlah... jika marah ada sebuah sentakan
tapi marahlah..bila ternyata tak bisa menghentak kebenaran jadi kebenaran

Malulah jika tak bisa marah.. dan belajarlah jadi marah...
tanpa marah, tak ada pembelajaran yang berhasil
Hanya marah yang belajar-lah, yang bakal dapat hasilnya.

maka, marahlah...dengan benar. Sesaat marmotji ternganga..bukan karena melihat ujung paha mulus tersingkap..tapi sejenis itu barangkali.
Melihat upaya memancing sahwat diumbar sekenanya...

melihat derik pintu besar diayun-ayun, ditarik-tarik, lontaran kata-kata tak sopan terpapar begitu kencang menerpa telinga...

air liur menetes pun tak terasa, mendengar betapa alasan kemarahan itu hanyalah sebuah isu krisis energi...

mengapa harus marah ? mengapa harus gedor-gedor, dan mengapa pula harus merasa terpengaruh.
Ndak bisa beli, ya udah, ndak usah beli, kog merepotkan diri banget sih...bukan sok acuh seh, tapi ini kepasrahan yang diperlukan.

Marahlah pada kesendirian aja...

kenapa tidak jengah pada kebodohan diri sendiri, sehingga marah membabi-buta belajar kesana-kemari ?

kenapa tidak sebel pada ketidakmampuan diri sendiri mencari pemecahan masalah yang mendadak timbul di depan ?

kenapa juga harus marah pada orang lain yang mengumbar aurat di depan diri, sementara ternyata aurat tubuh sendiri sudah terpasang tinggi di baliho, di banyak pinggiran jalan ?

Belajar Marahlah pada diri sendiri
Lecutlah diri sendiri untuk mampu kalah..
Jangan pernah mengalah pada diri sendiri...
Masa depan sendiri bukan masa depan sekumpulan manusia marah...
Belajarlah marah...Marahlah pada belajar...sudahkah benar caranya.
Sehingga tahu kapan marahnya..bukan asal marah-marah pada hasilnya..

Disaat marah, aurat terpampang...
caci-maki aurat terpajang...
Disaat marah, pajangan aurat harganya mahal tapi nista...

Belajarlah Marah yang Benar ! marah tak pernah jadi haq !

Mata merah saat marah, tanda nyalang kepengecutan
Napas ngos-ngosan menahan marah, sebenarnya hanya luapan ketakutan tak bisa marah lagi.

Marah pada apa pun, tak berarti apa-apa, kecuali memang sudah tak berharga

Marah adalah puncak kepasrahan yang tetap tegak di tempat berdiri
tapi marah bukanlah sebuah peperangan
cuman sekadar letupan magma dipermukaan pantat

Maka marahlah... jika marah ada sebuah sentakan
tapi marahlah..bila ternyata tak bisa menghentak kebenaran jadi kebenaran

Malulah jika tak bisa marah.. dan belajarlah jadi marah...
tanpa marah, tak ada pembelajaran yang berhasil
Hanya marah yang belajar-lah, yang bakal dapat hasilnya.

maka, marahlah...dengan benar.