14 August 2008

Oalaaah...Lawraaa...

Lawra, bila diucap akan sangat sama bunyinya dengan kata Laura. Dari sekian banyak tokoh yang bisa diingat saat ini dan lalu, setidaknya ada tiga karakter Laura/Lawra yang berkesan.

Masa-masa jadul, begitu kelahiran setelah 80an menyebut, saat televisi masih tunggal, TVRI, ada serial Little House in the Praire, yang mengangkat novel berjudul sama ditulis Laura Inggals. Banyak contoh pragmatis, antagonis dan etika tersusun dalam silang singkarut imigran Irlandia ke tanah Amerika, mencari kehidupan yang lebih baik. Entahlah, apa yang mereka dapati sekarang, memang sebaik mimpi mereka. Laura yang ini mencatat sebuah bagian yang menjadi fakta saat itu yang menjadi sejarah.

Di Indonesia, dua karakter lainnya masih hidup, beda dengan yang diatas. Dua-duanya pengisi dunia hiburan. Satu mengisi dengan keterbedaan cakap, satunya keterbedaan seksual.

Adakah yang belum tahu Cinta Laura ? Apa yang menjadi pembeda dari karakternya? bagaimana caranya bercakap, malah mengingatkan marmotji pada figur pak Fritz, seorang Belgia tulen, yang berusaha keras mengiris-buang logat Eropanya, dan ingin bisa utuh bertutur Indonesia bahkan dengan logat Sunda, Madura atau Jawa.

Cinta Laura justru bisa terpampang lebar di layar kaca atau media manapun justru dengan gaya ala penjajah masa 45. Tampaknya tak ada yang merasa bersalah dengan suasana itu. Namanya juga cari duit. Siapa sih yang bisa tolak kuasa duit.

Sementara karakter Laura atau biasa ditulis sebagai Lawra, muncul hanya beberapa kali di layar beling itu. Itu pun tidak secara khusus memamerkan kualitasnya sebagai penghibur, tetapi lebih banyak dieksploit keterbedaan seksualnya secara umum.
Marmotji mengenalnya di kisaran tahun 2004an, diperkenalkan oleh Bunda Waljinah, seorang diva pelantun tembang Jawa yang sangat 'ting' dan merdu, Setidaknya karena marmotji telah mendengar lengkingan suara bunda Waljinah saat masih ditimang embah lanang.

Nama Lawra untuknya, ternyata adalah singkatan yang menyirat keterbedaan seksualnya. Lanang ora, Wedhok ora, diringkas menjadi Lawra.
Postur tubuhnya yang tinggi, tegap kekar, boleh dibilang sempurna gagah, kulit putih tetapi wajah sangat feminin boleh dibilang mendekati ayu. Ehemmm....
{mosimage}
Lagak gayanya benar-benar layak dibilang seorang wanita idaman, Tutur kata halus, kerling mata menggoda, dan senyum yang menghanyutkan para penggemar yang biasanya ternganga memperhatikan ke-ayu-an wajah Lawra, tanpa pernah terpikir panjang, eh ini laki-laki tulen, hehehehe...mau ngecek apanya lagi kalau pengen tahu...?

Bahkan dalam sebuah pergelaran di pinggir waduk pembangkitan listrik di sekitar Blitar saat itu, Lawra pernah dipinang seorang jejaka di atas panggung sesaat memungkasi sebuah tembang jawa. Yah..bayangkan saja sendiri, apa kira-kira reaksi audiense seketika mendengar...

Ternyata tidak perduli laki, perempuan atau mixed, kalau bisa memberikan hiburan, bolehlah dinikmati. Kalau bisa...
Kalau tidak bisa ?
Ya samalah dalam kehidupan sehari-hari, bukan ?

Seorang maskulin akan dicap tak pantas jadi lelaki, bila mengambil sikap yang tak selayaknya dilakukan.
Atau seorang feminin juga demikian.

Seseorang kerabat dalam sebuah pertemuan, pernah melontar kalimat, pemimpin kita sekarang tuh bukan orang yang punya kelamin !, gak jelas dia, laki atau wanita.
Hehehehehehe...

Kalau maskulin bersolek pun kini telah memperoleh sebuah istilah, pria metroseksual, keren kan ? tapi marmotji belum pernah dengar istilah bagi seorang wanita yang tak peduli pentingnya bersolek. siapa sih yang bisa memulai ?

Ternyata ada yang menarik dari tiga laura itu, pentingnya berani memilih dan bersikap, entah jantan atau betina. Tentu saja jelas dan tegas bersikap. Yang berani menghindar atau menghadapi. Dua pilihan yang cukup ditunjuk satu saja. Betul gak ?

Dari pada menggantung, punya kewenangan, punya jabatan, tapi tak berani bersikap, kira-kira perlu disebut apa ? Masak ndak malu sama Ryan, yang marmotji yakin tak akan perduli dengan berbagai sebutan yang kini disandangnya. Entah jagaljombang, eh psikopat..eh...maniak eh...klepto... tetapi dia toh punya kekhasan yang bisa dikenang.

Lha, buat apa punya kewenangan, punya kekuasaan, punya peran, kog endak dipake...
mau jadi apa..? wong gelaran itu ndak mencerminkan apa-apa bagi marmotji, cuman sekadar stempel agar gampang dinilai seberapa besar bayaran yang dia minta. Betul gak ? itu tanda keminderan yang tersembunyi. hehehehehe...sedikitnya dibanding sama Lawra.

ada yang tersinggung ? ya silakan malu sendiri, Sudah jelas mengakui ketidakberdayaan kog masih berani tersinggung. Huh.

No comments: