27 April 2008

Modal BERBAGI

Adakah yang janggal, selama mendapat ijin Yang Kuasa menghirup seluruh lukisanNYA dengan segala indera ?
Pernahkah terpaksa melawan ketidakbiasaan ?
Pernahkah merasa tak-aneh karena ketidakpedulian ?
Apakah merasakan kelaziman karena ketidaktahuan atau keterpaksaan ?

apa yang paling penting, sejengkal tanah, sebaris nama baik ataukah berderet prestasi ?
catatan siapa dan apa paling abadi ?

Beranikah menyembulkan iman dan keteguhan dien saat nyawa hendak putus-nadi ?
Apa yang harus ditiadakan ?
hah...?!
Saat merasa jadi pejuang, apa yang pantas diperjuangkan ?
Saat merasa jadi penguasa, apa yang pantas dikuasai ?
Sewaktu pantas di pentas kepemimpinan, apa yang dipimpin ?
Seperti halnya merasa pantas jadi guru, dosen, tutor, instruktur, apa yang pantas diajarkan ?

{mosimage}marmotji merasa semuanya diperjudikan bukan diperjualbelikan.
marmotji lihat ada kepantasan memperjualbelikan sesuatu yang layak diperjudikan.
adakah firman dalam Kitabullah, menyebutkan ajakan perjudian. Rasanya hanya disebut tantangan berjual-beli kepadaNYA.
Perjudian memang jauh lebih menguntungkan dari jual-beli.

Tak adakah siswa belajar, selain karena mengejar pernyataan ijazah yang bukan kenyataan pandai.
mana ada kenyataan bodoh, harus dituliskan, tetapi kenyataan pandai, seolah layak saja dituliskan.
mana ada kenyataan jadi pesuruh, harus dicatatkan, tetapi menjadi pemimpin, seolah tinta se-ember harus tercurah.

Mengapa kenyataan berdiri-sendiri harus diingkari, dan memaksakan keharusan bersatu.
Padahal belum tentu yang memaksakan keharusan itu paham makna bersatu.

marmotji sadar, sikap paling abadi adalah sikap kekanakan.
sedari kecil selalu ada simbol
hingga dewasa, malah memuja simbol, bahkan rela menumpahkan darah sesama

saat bersedekah, pernahkah terpikirkan untuk berikan meriam atau senapan mesin pada yang di-sedekahi.
kalau bersedekah, hanya berikan bahan makanan sekedar bertahan hidup, buat apa ?
sedekah, kalau cuman sepotong-dua baju bagus, buat apa ?
berbagi, kalau cuman berikan kesempatan berperan kecil, buat apa ?
kalau para pengemis bisa merampok sebisa mereka, maka kemungkinan mendapat uang lebih dari recehan lebih besar.
Mengapa takut ? jangan-jangan diri sendiri pun pernah merampok walau tanpa senjata-mematikan.
Barangkali kata dan kalimat bahkan goresan pena bisa membunuh, lebih lama proses kematiannya dan jauh lebih menyiksa.
Bukankah justru banyak sekali perampok berkeliaran dengan baju perlente dan mobil mengkilap, dan berlagak bak bagian kaum yang sangat terhormat dan ber-etika tinggi.
Padahal dengan jentikan jemari saja, bisa hilangkan seribu nyawa sekaligus.
Makin berdaya seseorang, makin tinggi kemampuannya sebabkan kematian sesama.
Siapa yang yakini, pengemis mampu merampok sebanyak para ahli korupsi.
Karena mereka terbiasa menghiba daripada pamer wajah bengis.

Beruntunglah orang yang dua tangannya buntung, bahkan juga dua kakinya, sekaligus bisu, tuli dan buta.
Jangan bertanya adakah ?
tapi mampukah bayangkan menjadi orang seperti itu ?
benarkah orang seperti itu justru seolah layak di sedekahi. Bagaimana harus menerima disaat tangannya buntung ?

mengapa seorang presiden, tak sedekah-kan jabatannya barang dua-tiga hari pada pengemis di perempatan jalan ?
mengapa seorang ketua parlemen, tak sedekah-kan kekuatan hukumnya memimpin sidang sekali saja, pada seorang pengamen depot pinggir jalan ?
mengapa seorang professor, tak berikan kesempatan seorang bisu-tuli tunjukkan sebuah grafiti dalam layar presentasinya dalam sebuah pertemuan guru-besar ?
dan
mengapa seorang jenderal tentara, tak berikan tongkat komando-nya pada seorang tukang bakso keliling yang bermandi peluh keliling kampung, agar sekali-saja bisa rasakan betapa lebih-enaknya mengatur bola-bola daging mati dalam kuali panasnya, daripada atur kepala-kepala berhelm yang belum tentu sama antara derak-suara dan tindakan.

sedekah bukanlah sesuatu yang diambil dari onggokan kantong terdalam, tetapi sesuatu yang sangat berharga.
Jabatan bukanlah aurat yang harus dibungkus aman berlapis-lapis.
Kehormatan bukanlah urat kematian.
Keindahan mutiara bukan karena kehalusannya, tetapi kerling-kilapnya.

Bila merasa menjadi seorang peneliti, lalu hanya duduk nanar tatap kumpulan angka, tanpa tahu denyut nadi masyarakatnya, bisakah dibedakan dari seorang penyair, yang butuh tenangkan diri memilah kata dan rima ?

kalau belum bisa bedakan mana sedekah dan berbagi, lebih baik jangan pernah mimpi memimpin barang seorang pun .
Karena hasilnya pasti kejahatan dan kedholiman.
Sedekahkan kehormatan, kepercayaan diri, keteguhan hati, kekuatan bersikap, ketajaman pandang.
Tak ada yang menyesalinya kecuali kebahagiaan.

No comments: