14 May 2008

Berkaca ke Air Keruh

marmotji terpaksa putar otak lagi, setelah agak tenang beberapa bulan berusaha membuncitkan perut, simpanan energi selama musim kemarau.

Apalagi kalau bukan urusan logistik makan dan minum.
Gondrong telah bersikap. Bukan urusan utang menahun marmotji, tapi urusan porsi dan harganya.
Jadi, mana mungkin lagi bisa tenang makan dan minum, jika harganya berlipat-lipat...

Alasan Gondrong tentu saja masuk akal, apalagi kalau bukan menyesuaikan dengan harga pasar.
Air mahal, minyak mahal, belum lagi bayaran orang-orang yang jaga sini.

Ya, sudah...ndak perlu dibantahlah. Ngutang ya ngalah... sesuka yang ngasih utang...

Tapi putar otak urusan makanan tidaklah sesulit pertanyaan Gondrong, mengapa semua harga naik bersama-sama....
Mosok njawab begini mesti jadi menteri dulu ?
Buat apa sekolah, kalo ndak bisa njawab.

Duh...jadi inget pak Pandoyo, guru SMA marmotji. Pertanyaan sulit itu kalau pendek kalimatnya, dan sebaliknya pertanyaan mudah itu kalau panjang kalimatnya.
Ya emang sih, pertanyaannya cuman sepotong; mengapa semua harga naik bersama-sama...tapi njawabnya ? harus dipisahkan antara harga barang pabrikan dan harga barang pasar...

Trus harga barang yang bisa dihutang sama harga barang yang harus dibayar tunai...duuuh...
rumit. Males mikirnya.. marmotji takut jadi nyalahkan orang-orang yang bikin keputusan dan akibatkan harga jadi naik.

Byuh...apa yang jadi pertimbangan, begitu mudah saja mengubah tatanan angka seperti mainan anak kecil, diacak-acak lalu ditata, diacak lalu disusun, begituuu..terus.
opo yo, kehidupan manusia itu mainan ? Sementara PenciptaNYA tak pernah sedikit pun mempelesetkan secuil dari Firman-NYA.

Hayoooo....marmotji tantang adu cerdas siapa pun yang berani ngomong bahwa Sang Pencipta pernah merubah firman-NYA, hanya karena mentang-mentang peranNYA tak ada dua.
Kebodohan boleh jadi berubah menjelma kepandaian, keringkasan boleh jadi terubah pada kepiawaian.

Adakah yang berani kocok-otak bahwa demi kemanusiaan, mudah saja berbohong tanpa perlu nalar ? tak perlu bicarakan dosa, cobalah sedikit menjejaki.
Berbohong itu seperti menuliskan kalimat dengan alat tulis yang tak bertinta. Betul gak ?
Mana pernah terbaca setelah dituliskan ? sampai kapan pun, dengan ilmu apa pun, gak akan bisa. Karena itu akan boros tenaga, sebab harus mengingatnya terus bahkan perlu ketelitian pada waktu, pada siapa diungkapkan, adakah orang lain, dan sebagainya dan sebagainya.
Benar-benar menguras tenaga.
Lapar deeh.

butuh makan lagi.
mustinya bisa makan sedikit, karena butuh tenaga, akhirnya harus makan lagi, tambah tenaga untuk mengingat satu bohong, kalau dua bohong, tiga, empat dan ribuan ?
Salah-salah terjadilah busung lapar.

untuk beli makanan butuh uang, maka pendapatan menjadi terasa kurang, padahal seharusnya cukup, karena makanan yang harus dibeli makin banyak.

bahan makanan yang tersedia tidak lagi seperti biasanya cukup, ya karena ingin makan terus.

Persediaan terbatas. Maka si pedagang takut timbul rebutan, salah-salah tokonya lebur hanya karena kejadian berebut makanan.
Supaya terkesan adil, maka harus diundi, tetapi itu terlalu lama jika yang menginginkannya bukan sekedar satu-dua orang.

Paling gampang, yaaa dinaikkan harganya. Beres kan ?

Takut tidak bisa makan, yaaa... makanan yang ditimbun.
Ngeri tak bisa simpan makanan, maka harganya dinaikkan, sehingga banyak yang batalkan rencana belinya.
Karena butuhnya bebarengan sih. yaa...udah..jadinya naiknya bareng-bareng...

beres kan, begitulah simpul marmotji..karena hanya melihat dari sisi makan, makanan dan yang makan.

Coba saja melihat pikiran dari cermin yang lain, cermin yang jualan makanan, yang pengen usaha makanannya jadi gueedee.
Pasti butuh modal, lalu ambil pinjaman.

Karena ada bunga pinjaman, yaaaa harus ada untung... karena keuntungan itu sebagian buat menyenangkan para pemberi pinjaman hingga berbunga-bunga.
Agar mereka suka-ria membiarkan uangnya berada di tangan orang yang tak dikenalnya.
Itulah cermin yang cerah, yang membahagiakan, yang menyenangkan, orang-orang yang berbaju rapi-licin. Pasti cermin yang terang dan jernih, karena semuanya tampak lebih indah dari aslinya.

Karena marmotji tak bisa lihat seperti itu, yaaa..barangkali hanya bisa lihat di sebagian aliran sungai yang panjang. Salah-salah air yang sudah tercemar, keruh sekali.
Masih untung bisa dipakai melihat wajah berdaki, bisa pantulkan wajah lengkap sepintas saja, barangkali sudah menerbitkan bahagia berlipat-lipat.

Yah...kira-kira cerminnya Gondrong, ustadz Farhan, Nanang...yang seperti apa yaa...

No comments: